Bagian 33

467 36 0
                                    

Happy reading guys :)

*****

Awan tampaknya sudah tidak sanggup untuk menahan air yang dikandungnya. Buktinya saja, ribuan rintik air hujan mulai berlomba turun membasahi bumi. Sama halnya seperti awan, acha juga tidak sanggup membendung air matanya.

Seolah ingin bersaing dengan hujan, kini manik matanya juga dilanda hujan. Dan Acha tidak berniat untuk menghapus air matanya. Biarkan hujan saja yang menghapus dan menutupinya. Ia bersyukur karena hujan turun, karena dengan ini ia bisa menangis diam-diam tanpa ketahuan oleh siapapun.

Ketika semua orang memilih berhenti sejenak untuk berteduh, Acha malah menambah kecepatan pada kayuhan sepedanya. Tidak peduli jika saat ini ia sudah basah kuyup. Tidak peduli jika saat ini ia menjadi tontonan serta pusat perhatian orang di jalan raya. Ia sungguh tak peduli dengan itu semua, karena saat ini ia hanya ingin pulang.

Ia ingin merebahkan dirinya di kasurnya nanti. Ia ingin segera menumpahkan tangisnya di atas sajadah dan menceritakan semuanya pada Allah. Ia ingin mengusir rasa sakit yang sedari tadi bersemayam di hatinya. Dan sayangnya, rasa itu tidak berniat untuk pergi barang satu detik pun. Mungkin, ia sudah nyaman singgah di hati Acha.

Hatinya hancur saat mengetahui Nadine yang diperlakukan seperti itu oleh Ray. Padahal, Ray adalah orang yang sangat baik. Apakah hanya karena harta, Ray bisa berubah seperti itu? Hanya karena harta yang nantinya tidak bisa dibawa mati kecuali yang disedekahkan, Ray bisa setega itu memaksa anak dan istrinya untuk berpindah keyakinan. Acha tak habis pikir dengan ini.

Oh, dan jangan lupakan rasa sakit yang ia dapatkan karena menaruh hati pada seseorang. Acha tidak tahu kalau jatuh cinta rasanya sesakit ini. Ya, ini adalah kali pertama ia jatuh cinta sekaligus kali pertama ia patah hati. Ah, benar juga! Seharusnya ia sadar, kalau yang namanya jatuh pasti menyakitkan. Tidak terkecuali dengan jatuh cinta.

Pandangan Acha mulai mengabur akibat air mata yang menggenang. Sebentar lagi, ia akan sampai di rumahnya. Hanya tinggal menyebrangi jalan menuju ke gang seberang. Namun, karena ia tidak bisa melihat jalan dengan jelas, ia langsung saja mengayuh sepedanya tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu. Tidak sadar bila ada mobil yang melaju dari arah berlawanan. Mobil itu juga tidak melihat Acha, karena air hujan yang semakin deras mengguyur.

"ACHA! AWAS!"

BRAKK

Acha tak sempat menghindar dari mobil itu. Suara tabrakan terdengar cukup keras. Seketika, ia terkapar di tengah jalan. Rasa pusing yang teramat mulai menderanya. Tangan dan kakinya sakit sekali, seperti habis diremukkan tulang tulangnya. Bau anyir menguar, bercampur dengan air hujan. Sebelum sepenuhnya menutup mata, ia sempat melihat dua orang menghampirinya.

Orang itu adalah Arka, kakak kembar Acha dan Novi. Arka melemas seketika melihat adiknya tergeletak tak berdaya bersimbah darah seperti itu. Sementara Novi, ia mendadak membekap mulutnya sendiri saking terkejutnya.

"Ya Allah, Acha ....."

Arka menepuk-nepuk pipi Acha. Berharap dengan itu, Acha bisa sadar. "Acha! Bangun, dek! Kakak mohon, bangun dek, ini kakak. Kakak disini. Ayo bangun, dek!"

"Mas, ayo bawa Acha ke rumah sakit! Cepetan!"

Tanpa berlama-lama, ia langsung menggendong tubuh mungil adiknya. Berlari menerobos hujan dan menuju ke mobilnya yang berada di seberang jalan.

Novi membuka pintu belakang mobilnya. "Novi, tolong! Tolong temani Acha di belakang oke! Kita ke rumah sakit sekarang!"

"Iya mas! Tapi kamu jangan panik ya nyetirnya. Jangan ngebut juga, ingat kata bunda tadi."

"Iya, aku ingat kata bunda." Arka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, karena teringat nasihat yang diberikan Maudy tadi. Ia berusaha secepat mungkin untuk membawa adiknya ke rumah sakit. Pikirannya tidak tenang, namun ia harus tetap fokus menyetir. Jika ia meleng sedikit saja, bisa dipastikan kalau bukan hanya Acha yang akan masuk rumah sakit. Tapi dirinya dan Novi juga.

*****

Acha terbangun tatkala mendengar sayup-sayup suara orang mengaji. Hal pertama yang ia rasakan adalah pusing. Kepalanya pusing sekali. Bau obat menyeruak di sekeliling ruangan. Acha mulai mengerjapkan matanya. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Ia menoleh ke samping. Ke arah sumber suara yang ia dengar sayup-sayup tadi.

"Alhamdulillah, Acha sudah sadar. Mau minum dulu, nak?" Wanita itu mengambil segelas air yang terletak di atas nakas di sebelah brankar tempat Acha berbaring. Kemudian mengarahkan gelasnya pada Acha.

"Bunda? Ini beneran bunda kan?"

Wanita itu mengangguk. "Iya, nak. Ini bunda. Ada apa? Apa ada yang sakit?" Tanya Maudy lembut.

Acha menggeleng. Ia menghambur ke pelukan Maudy. Ia rindu sekali dengan Maudy. Ia ingin merasakan kembali hangatnya pelukan bundanya itu. Acha terisak. Tangisnya pecah di pelukan Maudy.

Dengan sabar, Maudy berusaha menenangkan putrinya itu. Ia tahu, apa yang dialami putrinya. Ia tahu dari Arka. Dan Arka tahu dari Fina yang ternyata adalah pegawai Arka yang ditugaskan untuk menjaga Acha.

"Sayang, ikhlaskan ya? Berarti, bukan dia yang terbaik untuk kamu, nak. Tenang saja, karena Allah sudah menyiapkan yang lebih baik untuk kamu kelak, nak. Percaya deh sama bunda." Maudy mengusap-usap punggung Acha.

Ah, melihat putrinya menangis begini, Maudy jadi teringat saat ia patah hati karena Azka menikah dengan Syifa dulu. Yang menghiburnya justru Revan, yang kini menjadi suaminya. Lucu sekali kala mengingat itu semua.

"Bunda ... tahu?" Acha melepaskan pelukannya. Lantas perlahan menghapus air mata yang menggenang.

Maudy mengangguk. "Iya, bunda tahu semuanya. Bunda tahu, kalau putri bunda ini lagi patah hati. Makanya sampai nggak konsen gini." Canda Maudy yang disambut dengan wajah cemberut dari putrinya.

"Kamu tidur lagi gih. Istirahat dulu biar cepat sembuh. Tiga hari yang lalu, dokter bilang, lukamu nggak terlalu parah. Ada beberapa jahitan di kepala sama lecet-lecet di tangan sama kaki. Bersyukur, nak, kamu masih diselamatkan sama Allah."

"Apa, bunda?! Acha udah nggak sadar selam tiga hari?!" Pekiknya terkejut. Pantas saja badannya sakit semua. Ternyata dia tidak sadar selama tiga hari.

"Hei, tenang dong sayang. Kan cuma tiga hari. Emangnya ada apa sih, kok sampai kaget begini?"

"Ya habisnya, gimana sama shalatnya Acha yang ketinggalan? Terus kuliahnya Acha? Nanti Acha ketinggalan materinya dong! Dan ... gimana sama pesenan kue yang deadline nya tiga hari yang lalu? Pasti pelanggan Acha pada kecewa deh. Duh, gimana ya?" Acha panik, ia mulai bergerak-gerak tidak tenang.

"Oh, kalau itu kamu nggak usah khawatir. Soal kue, kakakmu sudah kasih pengertian sama permohonan maaf sama yang pesan. Terus soal kuliah, Fina ada nitip catatan kuliah selama kamu nggak masuk. Jadi nanti bisa dipelajari kalau kamu udah sehat." Maudy menyodorkan paper bag berisi binder milik Fina.

"Dan ya, shalat yang ketinggalan itu bisa kamu ganti kan nantinya?," tambah Maudy untuk mengingatkan Acha.

Acha menghembuskan napas lega.
"Alhamdulillah. Nah, kalau begini kan Acha bisa tenang!"

"Udah selesai kan, acara paniknya? Sekarang istirahat sana, tadi kan nggak jadi." Maudy menuntun Acha untuk kembali merebahkan badannya di brankar. Lalu menarik selimut Acha sampai ke pundaknya agar putrinya itu tidak kedinginan.

"Iya, bunda."

Acha mulai memejamkan matanya. Perlahan berselancar memasuki dunia mimpi. Untuk sekejap, ia berhasil melupakan rasa sakit di hatinya. Setelah berbincang singkat dengan Maudy tadi, ia merasa sudah jauh lebih baik. Memang, pelukan bunda itu adalah obat yang ampuh baginya.

*****

Terima kasih yang udah mau baca

See you next chapter.....


12 Juli 2021

dif_ran















Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang