Bagian 29

412 32 0
                                    

Happy reading guys :)

*****

Suasana kantin kampus saat ini ramai sekali. Hampir di berbagai sudut dan stand makanan dipenuhi oleh manusia yang sedang mengantre. Hendak mengisi perut mereka yang sudah berdemo meminta makan siang. Termasuk keempat orang yang kini tengah berdiri di pintu masuk kantin. Dengan kompak, mereka menghela napas panjang. Sesekali, menelisik ke penjuru kantin untuk menemukan bangku yang kosong.

"Kita duduk disana aja! Tuh, ada bangku kosong di pojok sana!" Acha menunjuk satu bangku kosong yang tersisa. Disambut dengan anggukan oleh yang lainnya.

"Kalau begitu, Acha sama Edward kesana. Amankan bangkunya dulu buat kita. Sementara aku sama Nadine pesan makanan sama minuman, biar nggak repot nanti. Ayo, kalian mau makan apa?" Fina berinisiatif.

"Aku mau ramen aja, Fin. Lagi pengen makan mie soalnya, sama jus jeruk ya."

Fina manggut-manggut. "Oke deh, kalau yang lain?," tanyanya lagi.

"Udah, Fin, samain aja sama Acha. Aku juga kangen makan mie. Biar cepat dikit dan kamu nggak harus pindah-pindah stand."

"Yaudah deh, berarti ramen empat ya." Fina berdiri, ia menarik lengan Nadine, mengajaknya untuk sekalian membeli minum. "Na, kamu yang beli minum ya? Ayo!"

"Eh, tunggu-tunggu. Kok aku nggak diajak sih? Aku ikut dong." Acha menahan lengan Nadine yang bebas.

"Kamu tunggu di bangku aja, Cha. Bareng sama Edward. Biar kita yang pesan ya, soalnya kan selama ini kamu terus yang pesan kalau mau makan siang. Sekarang gantian kita." Nadine melepaskan pelan lengannya yang tertahan.

Acha memberengut kesal. "Yaudah deh kalau gitu. Tapi cepetan balik ya." Sebenarnya, Acha hanya tak ingin ditinggal berdua dengan Edward. Karena itu akan mengingatkannya dengan kejadian di taman dan malah membuatnya semakin susah untuk mengikhlaskan. Memang selama ini, ia sudah berusaha untuk mengikhlaskan. Tapi nyatanya, melakukannya tak semudah mengucapkannya.

Tersadar dari lamunannya, Acha langsung berjalan menuju ke bangku yang ia tunjuk tadi, diikuti oleh Edward yang masih setia di belakangnya.

"Kamu ... segitunya ya pengen menghindari saya?" Akhirnya, pertanyaan itu terlontar juga dari mulut Edward. Ia sudah memikirkannya dari tadi. Saat mereka masuk ke kantin dan Acha menolak untuk ditinggal berdua dengannya.

"Maksud kamu?" Acha bertanya balik, tanpa menoleh ke arah Edward karena ia sedang fokus membaca novel.

"Maaf." Bukannya menjawab pertanyaan Acha, Edward malah mengutarakan kata maaf. Acha semakin dibuat bingung oleh lelaki di depannya. Mengapa dia sering sekali minta maaf pada Acha?

Merasa bahwa pembicaraan ini mulai serius, Acha memilih untuk menutup novelnya. "Untuk apa?"

"Untuk semuanya. Maaf, karena secara tidak langsung saya telah menyakiti kamu. Maaf, karena dengan saya mengutarakan perasaan saya kemarin, saya memberi harapan untukmu. Dan maaf, karena saya menerima perjodohan yang telah direncanakan daddy."

Edward menjeda sejenak kalimatnya. Menyunggingkan senyum pahit sebelum akhirnya melanjutkan ucapanya. "Itu artinya, saya nggak bisa bersama kamu, walaupun saya ingin."

"Hah ... kamu nggak perlu minta maaf untuk semua itu. Karena nyatanya, saya dan kamu memang belum, bahkan tidak pernah memulai apapun. Karena mungkin ... kamu bukan orang yang ditakdirkan oleh Allah untuk mendampingi saya. Mungkin ... namamu tidak dituliskan berdampingan dengan nama saya di lauhul mahfudz. Dan kita ... memang tidak berjodoh. Hal yang sederhana bukan?"

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang