Bagian 15

658 39 1
                                    

Happy reading

*****

Lelaki itu berjalan cepat menuju area parkir. Akhirnya, waktu kuliah sudah usai. Meskipun masih materi ringan, namun Edward cukup dibuat pusing tujuh keliling dengan hal itu.

Ditambah lagi, mood nya sedang tidak baik seharian ini. Ia membuka aplikasi jadwal kegiatan di ponselnya. Sambil berjalan, ia memeriksa, apakah setelah ini ada kegiatan lain yang harus ia kerjakan.

Huft ... tampaknya, ia belum bisa beristirahat saat ini. Dari kampus, ia harus langsung menuju ke kantor untuk menghadiri meeting bersama daddy nya. Sebagai pewaris tunggal perusahaan daddy nya, Edward harus selalu siap untuk hal itu. Kapanpun dan di manapun ia.

Manik mata hazelnya tak sengaja melihat hal yang sangat familiar di area parkir sepeda. Edward memutuskan untuk mendekati sepeda itu. Benar, ini sepeda yang ia lihat pagi tadi. Sepeda yang dikendarai oleh Acha.

Tapi ... mengapa sepeda itu disini? Apakah mungkin, Acha juga kuliah disini? Di universitas dan jurusan yang sama dengannya? Atau ... ini hanya asumsi Edward semata? Karena kenyataannya, pemilik sepeda seperti ini bukan hanya Acha saja.

Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepala Edward hingga ia memijit kepalanya pening. Rasanya, ia hampir gila karena ini. Dimulai dari keanehan yang terjadi pada dirinya, hingga ia memutuskan untuk mencari Acha supaya mendapatkan jawabannya. Sungguh melelahkan.

Edward pikir, akan mudah mencari gadis itu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Apakah ia berhenti saja? Dan menganggap bahwa tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya? Karena, jika diteruskan, hal ini akan sangat menguras tenaganya. Belum lagi, ia juga harus kuliah sambil mengurus perusahaan besar. Meskipun baru belajar sih.

Baiklah, Edward menyerah. Ia akan berhenti memikirkan masalah ini dan menguburnya sedalam mungkin yang ia bisa.

*****

Gadis itu menjauh dari tempat teman-temannya duduk. Tangannya yang menggenggam ponsel, kini terangkat. Memposisikan ponselnya di telinga. "Halo? Iya pak? Ada apa?"

"Bagaimana Fina? Apakah kamu berhasil menjalankan tugas dari saya?," tanya seseorang dari seberang sana.

"Iya pak, saya berhasil. Bahkan, saya berhasil berteman dengan mereka. Untuk tugas selanjutnya, apa yang harus saya lakukan?"

"Hm kerja bagus! Selanjutnya, kamu terus awasi semua gerak-gerik dan apa yang mereka lakukan dan tetap laporkan pada saya. Be carefull okay?"

"Baik pak, saya mengerti. Kalau begitu, saya tutup dulu teleponnya ya pak? Takutnya mereka curiga."

"Oke." Sambungan telepon terputus. Saat bersamaan, sebuah tepukan mendarat di pundak Fina, membuatnya sedikit tersentak.

Fina memberanikan diri menoleh ke belakang. Ternyata Acha. Untung saja, dia sudah mengakhiri teleponnya. Kalau tidak, mungkin Acha bisa saja mendengar apa yang mereka bincangkan.

"Fina? Sudah selesai angkat teleponnya?"

"S-sudah kok Cha. Kenapa kamu kesini? Bukannya, tadi masih ngobrol sama Nadine?" Fina berusaha mengalihkan pembicaraan ini.

"Oh, itu pesanan kita udah datang. Takutnya nanti kalau dingin malah nggak enak buat dimakan. Jadi, aku kesini buat panggil kamu. Mau memastikan, kamu udah belum angkat teleponnya."

Fina mengangguk mengerti. Mereka berdua berjalan beriringan menuju tempat duduk. Semula, Fina lega karena Acha tak melontarkan pertanyaan apapun padanya. Namun, rasa lega itu luntur seketika kala Acha menanyakan perihal telepon yang diangkatnya tadi. "Fin, tadi itu urusan kerjaan ya?" Acha mulai penasaran.

"I-iya Cha." Fina menjawabnya dengan sedikit terbata, seolah ada yang ia sembunyikan. Untunglah, Acha tak menanyakan hal itu lebih jauh hingga mereka duduk di meja makan, bergabung bersama Nadine.

"Akhirnya pada datang juga! Nih makanan kalian udah jadi. Yuk makan dulu, nanti keburu dingin kan nggak enak." Nadine menyodorkan dua piring berisi makanan pada Fina dan Acha. Sepulang kuliah tadi, Nadine memang mengajak Acha dan Fina untuk mampir ke restoran milik keluarganya terlebih dahulu. Tentu saja, untuk dapat pergi kesini, Acha sudah mengantongi izin dari Arka. Untuk sepedanya, Nadine bilang akan dibawakan pulang oleh supirnya. Jadi, nanti Acha bisa diantar pulang oleh Nadine saja.

Pada akhirnya, mereka sama-sama diam untuk menikmati hidangan yang disediakan oleh Nadine. Hanya dentingan sendok dan garpu yang saling beradu saja yang terdengar.

*****

"Nih kak teh nya." Acha menyodorkan secangkir teh yang baru saja ia buat untuk kakaknya. Biasanya, Novi yang akan membuatkan teh untuk Arka. Namun, karena tidak enak badan, maka Acha yang menggantikan tugas Novi sementara.

Acha menarik salah satu kursi di meja makan, memerhatikan kakaknya yang tengah serius membaca sebuah dokumen di tangannya. Bahkan, saat Acha mengantar teh, Arka hanya menjawabnya dengan deheman singkat saja. Sebenarnya, apa isi dokumen itu? Acha jadi penasaran.

"Kak, itu dokumen apa sih?" Tanya Acha. "Kok kelihatannya serius banget bacanya. Penting ya?" Sambungnya kemudian.

Arka menutup lembaran dokumen itu. "Iya dek, penting. Ini dokumen laporan keuangan cafe selama kakak di Indonesia. Alhamdulillah, ternyata keuntungan cafe kita meningkat karena cafe kita semakin terkenal!" Arka terdengar antusias saat menceritakan cafe nya yang tengah berkembang pesat itu. Pasalnya, cafe itu adalah bisnis pertama Arka. Tentu saja, Arka bahagia dan bersyukur atas nikmat Allah yang dikaruniakan padanya.

Senyum semringah langsung terlukis di wajah Acha. "Alhamdulillah! Selamat ya kak, semoga aja cafe nya bisa makin ramai dan hasilnya berkah buat keluarga kita. Oh iya, kalau udah gini, jangan lupa buat sedekah ya kak, soalnya di rezeki yang kita dapat, kan juga ada hak dari mereka yang membutuhkan."

Inilah yang Arka kagumi dari kembarannya. Acha memiliki pikiran yang bijak dan dewasa. Buktinya, disaat cafe nya maju pesat, Acha tak lupa untuk mengingatkan Arka supaya bersedekah, bukannya berfoya-foya.

"Iya Cha, kakak nggak bakalan lupa kok. Oh iya, ada yang mau kakak omongin sama kamu. Jadi begini, kan kamu suka bikin kue, dan kue kamu itu enak-enak rasanya. Mau nggak kalau kamu kerja sama bareng kakak?" Raut wajah Arka berubah serius.

"Maksudnya kerja sama?"

"Ya, kamu bikin beberapa kue buat ditaruh di cafe kakak. Nanti, keuntungan hasil jual kue kakak kasih ke kamu. Jadinya kamu punya penghasilan tambahan selain dari toko kue online. Kamu nggak perlu bikin banyak-banyak kok Cha. Kita coba dulu, kalau berhasil nanti kita banyakin kue nya. Kan cocok tuh, kalau minum kopi atau teh ditemani sama kue. Gimana? Kamu setuju nggak?"

Acha terlihat menimbang-nimbang. Sepertinya, boleh juga ide kakaknya ini. Jika nanti banyak yang menyukai kuenya, maka Acha bisa mengumpulkan modalnya sendiri untuk membuka bakery juga. "Iya kak, Acha setuju. Nanti Acha bakal bikin brownies, cupcake sama red velvet aja buat ditaruh di cafe." Diluar dugaan Arka, Acha setuju dengan idenya.

"Boleh juga tuh dek. Bagus, ide kamu bagus. Dengan ini, kita sepakat ya?" Arka mengulurkan tangannya.

"Ya sepakat dong kak." Acha membalas uluran tangan kakaknya.

Akhirnya, tujuan Arka untuk mengajari adiknya berbisnis tercapai. Dengan begini, sedikit demi sedikit, Acha akan mengerti dunia bisnis itu dengan sendirinya. Arka juga berharap, bahwa nanti, sedikit pelajaran darinya ini bisa menjadi bekal bagi Acha untuk ke depannya.

*****

Terima kasih yang udah mau baca

See you next chapter.....







10 April 2021


dif_ran




























Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang