Bagian 5

1.1K 66 0
                                        

Happy reading

*****

Mentari kian beranjak naik kala Revan dan Maudy sampai di bandara. Mereka melangkah tergesa-gesa menuju ruang tunggu kedatangan, takut apabila anak-anak nya sudah menunggu disana. Setibanya di ruangan, mereka mendapati bahwa ruangan itu masih sangat sepi, hanya ada lima orang termasuk mereka berdua disana. Ya, Maudy hanya bisa menghembuskan napas pasrah melihat ini semua. Ia sudah mengira, jika dirinya dan Revan terlalu awal untuk datang kesini.

Semua bermula dari tadi pagi. Revan terus saja merengek ingin segera ke bandara. Ia bahkan sampai membatalkan semua jadwal meeting nya. Tidak peduli, jika meeting kali ini adalah pertemuan yang sangat penting. Bagi Revan, yang terpenting kini adalah dia bisa melihat anak-anak nya Kembali dengan selamat. Itu saja.

Revan melirik jam tangannya gelisah, lalu menghembuskan napas pasrah. Apa ini? Sudah dua jam ia dan istrinya menunggu disini, namun anak-anaknya tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal, mereka naik pesawat yang pastinya tak akan terkendala macet. Namun, mengapa lama sekali? Revan merasa, waktu seolah berjalan lebih lambat kali ini.

Tak tahan dengan tingkah suaminya yang terlihat gelisah, Maudy akhirnya bertanya pada Revan. "Mas kenapa sih? Dari tadi lihatin jam tangan melulu? Udah gitu, duduknya nggak tenang lagi."

Revan meraup wajahnya kasar."Ya, nggak papa. Aku cuma khawatir, kok udah jam segini anak-anak kita belum sampai sih? Kan nggak macet kalau naik pesawat?"

Maudy malah merotasi bola matanya malas. Ia tak habis pikir dengan pemikiran suaminya itu, aneh sekaligus lucu. Memang benar apa kata Revan, tapi ... apakah Revan tidak menyadari, bahwa disini mereka yang terlalu awal untuk menjemput anak-anak. "Bukan masalah macet atau nggak nya mas, disini kita yang kepagian buat jemput mereka. Daripada mas gelisah nggak jelas gini, coba deh dzikir aja. Berdoa sama Allah, semoga anak-anak kita bisa selamat sampai sini dan perjalanannya lancar."

"Iya Za, benar juga. Dengan gitu kan gelisah nya bisa hilang. Yaudah deh, aku dzikiran aja." Revan mulai khusyuk, rasa gelisah yang semula menerpa berganti dengan rasa tenang. Alhamdulillah, Maudy ikut senang kalau suaminya itu sudah tidak gelisah lagi.

*****

"Arka! Novi! Acha!" Teriakan heboh otomatis meluncur dari bibir Revan ketika melihat ketiga anaknya berjalan dari arah berlawanan.

Ketiganya serempak menoleh ke sumber suara. "Ayah! Bunda!" Teriak ketiganya kemudian, lantas berlari menghampiri Maudy dan Revan. Acha dan Novi langsung menghambur ke pelukan Maudy, sementara Arka menghambur ke pelukan Revan. Mereka saling melepaskan rasa rindu yang selama ini tertahan. Mereka bahkan tak sadar, bahwa orang-orang mulai menjadikan mereka pusat perhatian. Tak sedikit pula yang menitikkan air mata haru melihat mereka saling melepas rindu seperti itu.

Sayang sekali, suasana haru itu sekejap hilang karena Arka terbatuk-batuk heboh. "Ayah, sesak! Tolong lepaskan Arka yah, Arka nggak bisa napas! Uhukk ... uhukk." Arka meronta-ronta dalam pelukan ayahnya. Tak tega, Revan akhirnya melepas pelukannya juga. Arka langsung meraup oksigen sebanyak-banyaknya, mengisi rongga paru-paru nya.

"Ayah, bunda, pulang yuk. Kangen-kangenan nya di rumah aja, malu disini dilihatin banyak orang." Arka melirik orang-orang yang memperhatikannya tadi. Sungguh, ia tak nyaman menjadi pusat perhatian seperti ini.

"Yaudah, yuk pulang aja. Bunda udah masak makanan kesukaan kalian bertiga loh." Mereka bertiga memekik kegirangan begitu tahu jika bundanya masak makanan kesukaan mereka masing-masing. Membayangkannya saja sudah membuat air liur mereka hampir menetes karena lapar.

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang