Bagian 38

514 34 2
                                    

Happy reading

*****

Tepukan pelan pada bahu Acha mampu mengusik tidur nyenyaknya. Suara samar yang ia yakini adalah suara Maudy menyapa pendengarannya. Perlahan, ia menguap mengumpulkan kesadaran yang masih tertinggal serta berceceran di alam mimpi.

Kedua matanya refleks menyipit, menghalau sinar matahari. Rupanya, sinar itu berasal dari jendela kamarnya. Maudy yang membuka tirainya, membiarkan udara segar masuk ke kamar yang sudah lama tidak ditempati itu.

"Sayang, bangun dulu yuk. Udah waktunya shalat ashar nih." Maudy menarik selimut yang digunakan Acha. Lalu melipatnya dengan rapi dan menaruhnya di pinggir ranjang.

"Bunda tahu kok, kamu masih ngantuk dan capek. Maaf ya, kalau bunda tega bangunin kamu. Karena, bunda lebih nggak tega kalau kamu telat shalat ashar terus malah jadi dosa. Sekarang, Acha mandi dulu ya, bunda sama ayah tunggu di mushola."

"Iya bunda. Acha mandi dulu ya." Acha beringsut turun dari tempat tidurnya. Sebelum mandi, ia merapikan dulu kasur dan bed cover di ranjangnya. Menyusun bantal serta guling seperti semula. Setelah dirasa rapi, Acha baru masuk ke kamar mandi.

Sekitar sepuluh menit, Acha sudah keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang lebih fresh dari sebelumnya. Kali ini, ia memilih untuk menggunakan gamis berwarna abu-abu. Ia mengambil mukenanya, segera menuju ke mushola untuk shalat berjamaah bersama Revan dan Maudy.

"Maaf bunda, ayah, kalau Acha lama." Acha langsung menempati shaf kosong di sebelah Maudy. Merasa kalau istri dan anaknya sudah siap, Revan mulai berdiri.

"Allahu Akbar." Revan mengumandangkan takbir. Pertanda shalat ashar berjamaah dimulai. Ketika shalat dimulai, suasana berubah menjadi tenang dan syahdu. Acha serta Maudy sangat suka melaksanakan shalat berjamaah seperti ini.

*****

Lelaki itu tampak memejamkan matanya. Sesekali, dahinya berkerut akibat hembusan angin yang menerpanya. Revan, ia kini tengah duduk di gazebo pada taman belakang rumahnya. Menikmati udara yang masih segar.

Pikirannya melayang-layang tak tentu arah, hingga akhirnya berhenti di memori saat ia dan Azza masih remaja dulu. Ketika ia dan Azza suka menghabiskan waktu untuk sekadar berbincang di telaga dekat pesantren. Meskipun hanya membicarakan hal random, namun hal itu amat berharga baginya yang baru saja pulih dari amnesia.

Kelopak mata lelaki itu perlahan terbuka. Menampilkan iris cokelatnya. Ia menoleh ke samping dan langsung mendapati Azza serta Acha disana. Mereka sedang menyiapkan teh poci, ditemani dengan sepiring pisang goreng yang masih hangat.

"Mas, gula batunya mau berapa? Satu apa dua?" Maudy menuangkan teh poci ke dalam tiga buah cangkir berukuran kecil. Ia terlihat berhati-hati agar tehnya tidak tumpah.

"Mau satu aja. Kan minumnya juga sambil lihat yang manis." Revan menaikturunkan alisnya. Terkekeh melihat semburat merah di pipi Azza nya. Sementara Maudy, ia menyenggol pelan lengan suaminya. Berusaha menetralisir degupan jantungnya yang mulai menggila.

Lantas, ia beralih pada putrinya yang tampak menikmati pisang goreng hangat. "Kalau kamu, Cha? Mau berapa gula batunya?"

"Hmm, nggak usah, bunda. Acha mau nikmatin rasa alami dari teh pocinya. Jadi, nggak pakai gula batu aja." Acha mengambil satu cangkir teh dari nampan. Meniupnya terlebih dahulu baru menyeruputnya sedikit.

"Lagipula, benar kok kata ayah. Kita kan minumnya sambil lihat bunda yang udah manis." Lanjut Acha. Wajah Maudy semakin memerah. Sementara Revan sudah bertos ria dengan putrinya.

Puas menggoda Maudy, Revan mengambil satu pisang goreng. Menikmatinya sambil sesekali menyeruput teh poci. "Gimana flight kamu? Lancar nggak? Maaf ya, ayah nggak bisa jemput kamu. Biasa, ada klien yang komplain."

"Alhamdulillah lancar kok, yah. Kak Rendra juga jemput Acha dan nganterin Samapi ke rumah. Malahan, ada kejadian lucu di bandara. Masa Kak Rendra angkat-angkat kopernya Acha kayak angkat barbel gitu. Untung aja orang-orang di bandara pada nggak lihatin kita." Tawa dari Acha mengudara, mengingat tingkah kocak Rendra.

"Terus, Kak Rendra ngasih hadiah wisuda buat Acha. Dia ngasih buket sama boneka lucu banget. Acha heran aja, orang sibuk gitu masih sempat-sempatnya mikirin buat ngasih hadiah ke Acha. " Raut muka Acha menjadi antusias saat menceritakan Rendra. Menimbulkan kekehan dari Maudy dan Revan.

"Oh begitu." Maudy manggut-manggut. Ia dapat menangkap perubahan dari raut muka putrinya. "Ini ceritanya, anak bunda suka sama hadiahnya atau suka sama yang hadiah nih?" goda Maudy. Ia menarik turunkan alisnya persis seperti Revan tadi, sembari memasang ekspresi jahil.

Sontak, Acha menggeleng kuat. "Ih, bunda! Nggak begitu! Maksud Acha tuh, suka sama hadiahnya! Iya, hadiahnya!" tegas Acha. Pipinya memerah menahan malu.

"Eh, sudah sudah." Revan menengahi Maudy dan Acha. Jika dibiarkan, Maudy akan menggoda terus putrinya itu. Dan hal ini akan berlangsung lama. "Za, cepat kasih hadiahnya ke Acha. Udah cukup godainnya," tambahnya.

Maudy mengangguk. Ia mengambil sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan di bawah kolong gazebo. Sebuah kotak berukuran cukup besar ia berikan pada Acha.

"Nah, ini buat Acha. Dari ayah sama bunda. Selamat wisuda ya, nak. Maaf, kalau pas kamu wisuda, kami nggak ngasih hadiah. Semoga, ilmu yang kamu dapat selama kuliah bisa bermanfaat bagi orang banyak. Dan tentunya bermanfaat untuk kamu sendiri."

Dengan senang hati, Acha menerima kotak itu. Iris matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan tangis haru saat itu juga. Ia mendongak, berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Tangannya terulur untuk membuka tutup dari kotak itu.

Isinya, ada satu mukenah, sajadah, tasbih, Al-Qur'an, dan album foto yang semuanya berwarna biru. Sesuai dengan warna favoritnya. Gadis itu mengambil album fotonya. Di sampul depan, terdapat namanya yang diukir sangat indah.

Ia mulai membuka lembar demi lembar album itu. Mulai dari fotonya dan Arka saat baru lahir, saat baru bisa berdiri, saat baru masuk sekolah pertama, hingga beranjak dewasa tertempel dengan apik di album ini. Belum lagi, Maudy dan Revan membubuhkan kalimat-kalimat yang ditulis dengan tangannya sendiri. Membuat album itu semakin bermakna saja.

"Bunda, ayah, makasih. Ini benar-benar hadiah yang paling indah buat Acha. Acha suka sama albumnya yah, bun."

"Syukurlah kalau kamu suka, nak. Sebenarnya, kami juga membuat tiga album. Satu untuk kamu, satu untuk Arka, dan satu lagi untuk kami sendiri. Ayah berharap, dengan adanya album itu, baik kamu maupun Arka bisa mengingat kenangan-kenangan manis yang pernah kita lalui bersama sebagai keluarga."

Revan merentangkan tangannya. Maudy dan Acha langsung menghambur ke pelukannya. Sore itu, mereka bertiga berhasil memecahkan celengan rindu yang telah lama mereka simpan dalam hati. Quality time bersama keluarga kali ini sungguh luar biasa bagi Acha. Baginya, keluarga adalah harta yang paling berharga. Yang tidak akan pernah bisa dibeli dengan uang sebanyak apapun.

*****

Terima kasih yang udah mau baca

See you next chapter.....





29 Juni 2021

dif_ran
















Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang