Happy reading
*****
Manik mata cokelat itu tidak berhenti melayangkan tatapan kagum pada gedung di hadapannya. Gedung berlantai empat yang tidak lain dan tidak bukan adalah perusahaan cabang milik Revan berdiri kokoh, sejajar dengan gedung-gedung di sekitarnya.
Rasanya, Acha masih tak percaya dengan ini semua. Mulai hari ini, ia bekerja disini. Bukan sebagai karyawan biasa, melainkan langsung diangkat menjadi direktur utama dari perusahaan ini. Hah ... Acha jadi merasa sedikit insecure. Bukannya apa-apa. Ia takut kalau nantinya ia tidak sanggup memimpin perusahaan ini dengan baik, dan malah menyusahkan ayahnya nanti.
Sebuah tepukan mendarat tepat di bahu gadis itu. Membuat si empunya terhenyak karena sedang melamun. "Cha, kok nggak langsung masuk aja? Malah berdiri ngelamun di depan kantor gini."
"Ayah. Bukan gitu, yah. Acha kan nunggu ayah dulu. Masa sih, Acha main nyelonong masuk sendirian. Meskipun ... udah banyak yang kenal Acha sih disini. Dulu pas SMA, Acha sama Kak Arka kan sering main kesini."
"Cha, ingat pesan ayah ya. Apapun yang akan kamu hadapi disini kedepannya, kamu harus tetap semangat, tetap sabar, dan ikhlas menjalaninya dengan sepenuh hati. Jangan lupa, iringi langkahmu itu dengan doa. Minta sama Allah supaya dilancarkan urusannya. Dan yang paling penting, kamu harus selalu tersenyum. Ayah nggak mau lihat kamu sedih lagi kayak dulu. Always happy and smile okay?"
"Oke, ayah! Insyaallah, Acha akan mengingat dan menerapkan semua nasihat dari ayah. Tapi, Acha juga masih perlu bimbingan dan bantuan ayah buat ngurus perusahaan ini. Mohon bantuannya ya, yah. Kita bahu membahu buat mengembangkan perusahaan ini."
"Bagus! Sekarang, masuk yuk. Ayah kenalkan sama karyawan disini." Mereka berdua melanjutkan langkah menuju ke dalam. Sampai di bagian resepsionis, Revan berhenti. Membuat Acha juga ikut berhenti.
"Selamat pagi Pak Revan, Mbak Arsha," sapa wanita yang berdiri dibalik meja resepsionis itu. Ia mengulas senyum pada Acha.
"Selamat pagi juga. Oh iya, Alya, tolong kamu umumkan sekarang, seluruh pegawai segera menuju ke aula yang di lantai empat ya. Ada yang mau saya sampaikan ke mereka," jelas Revan.
Wanita yang bernama Alya itu mengangguk. "Baik, pak. Segera saya laksanakan."
"Terima kasih, kalau begitu, saya dan Acha langsung nunggu di aula saja ya. Jangan lupa, kamu juga datang kesana nanti." Revan berlalu dari meja resepsionis, diikuti Acha yang masih setia mengekor di belakangnya
*****
Kedua tangan yang saling bertaut itu mulai terasa dingin akibat melihat para pegawai mulai berdatangan ke aula. Perasaan nervous yang semula tidak ada, kini hadir menyapa. Meremat-remat hati Acha sedemikian rupa. Jujur saja, ia mulai tak tenang. Bagaimana kalau ternyata, para pegawai itu tidak menerimanya nanti? Apakah dia masih bisa mengurus perusahaan ini dengan benar?
Berbagai pertanyaan itu terus berputar memenuhi kepala Acha tanpa didampingi oleh jawabannya. Hingga sang empunya berkali-kali menarik dan membuang napas untuk mendamaikan pikirannya.
"Hei, ayah tahu kok kalau kamu ngerasa gugup. Cha, gugup itu wajar, tapi jangan berlebihan juga. Percaya deh sama ayah, kamu bakalan diterima sama semua pegawai disini. Karena ayah tahu, kalau putri ayah yang satu ini mampu untuk memimpin semua orang di perusahaan ini. Bismillah ya, sayang."
Gadis itu mengangguk paham. Usai mendengarkan nasihat Revan, rasa gugupnya perlahan sirna. Ia mulai mengatur napasnya lagi. Kali ini ditambah dengan melantunkan shalawat dalam hati. Biasanya, saat ia sedih ataupun merasa gugup, cara ini akan ampuh untuk menenangkannya. Selain membaca Al-Qur'an tentunya. Kursi di ruangan itu sudah penuh. Tanda bahwa semua pegawai sudah berada disana. Siap mendengarkan pengumuman yang akan dideklarasikan oleh Revan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Acha ✓
Espiritual[ Sequel Maudya ] Kehidupan Acha-Arsha Indira Brawijaya yang semula tenang seketika berubah. Berawal dari pertemuan yang tak sengaja dengan Edward, seorang pemuda blasteran Indonesia-Australia, kini dunianya serasa dijungkir balikkan oleh Edward. Ac...