Bagian 42

549 48 4
                                    

Happy reading

*****

Malam yang bertabur bintang kali ini terasa sangat berbeda bagi Rendra. Malam yang biasanya sudah indah, menjadi seribu kali lipat lebih indah dari biasanya. Lelaki itu merapikan kemeja batik yang dikenakannya. Mengancingkan kancing yang terdapat pada ujung lengan usai memakai jam tangan hitamnya tadi. Ia merogoh saku celananya, mengambil kotak beludru berwarna merah.

Saat membukanya, seulas senyum terpampang di wajahnya. Cincin emas putih yang bertakhtakan berlian di atasnya itu terlihat berkilau. Indah sekali. Rendra yakin, cincin itu akan jauh lebih indah bila sudah tersemat pada jari manis gadis pujaan hatinya. Bismillah semoga niat baiknya malam ini dilancarkan oleh Allah.

"Nak! Kamu sudah siap belum? Apa masih lama?" Teriakan wanita paruh baya itu menggema. Terdengar sampai ke kamar Rendra yang berada di lantai atas.

Rendra akui, mamanya—Aira, memang jago sekali dalam hal berteriak. Buktinya saja, suara teriakannya yang melengking bisa sampai terdengar ke kamarnya. "Iya, Ma! Rendra keluar sekarang!" Rendra menyimpan kembali kotak cincin itu ke saku celananya.

Ia bergegas turun, menyusul mama dan papanya yang sudah siap daritadi. Mereka kini tengah menunggunya di ruang tengah. "Maaf lama, Ma, Pa. Ayo, berangkat."

"Hah ... kamu itu di kamar ngapain aja sih, nak? Sampai setengah jam baru keluar. Mama kamu aja sampai kalah sama kamu!" Decak Farhan sedikit emosi. Habisnya, putranya ini menghabiskan waktu lama sekali hanya untuk bersiap-siap. Istrinya saja, hanya butuh waktu sebentar. Sangat berbanding terbalik dari kenyataan yang seharusnya.

"Maaf, Papa. Rendra tadi cuma menyiapkan mental dulu. Ini kan ... yang pertama bagi Rendra. Jadi ... Rendra agak ... takut, Pa."

"Hahaha ....." Farhan malah tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan putranya. Ia bahkan mengusap ujung matanya yang berair. "Takut? Seorang Narendra bilang takut? Dan itu takut karena mau ngelamar perempuan? Wah, papa nggak nyangka!"

"Lucu kamu, nak!" Farhan menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia menepuk-nepuk bahu anaknya. "Dulu, kamu bahkan nggak pernah nangis kalau jatuh ataupun luka. Dulu, kamu yang maju paling depan kalau disuruh nyanyi di TK, anak papa ini terkenal paling berani dan cuma takut sama orang tua dan Allah. Bahkan, kamu nggak takut buat ngambil resiko saat nerima tawaran papa buat memimpin perusahaan di usia kamu yang masih muda. Dan sekarang kamu bilang, kamu takut karena mau melamar perempuan? Oh, come on boy."

"Sini, biar papa kasih saran supaya nggak takut." Rendra mendekat, mengabaikan celetukan papanya yang sedikit menyebalkan tadi. Menurutnya, apa salahnya dengan takut? Toh, ini benar-benar pertama kali dalam hidupnya. Jadi wajar saja kan?

"Yang pertama, selalu niatkan karena Allah. Pokoknya segala hal yang kamu lakukan di dunia ini, selalu niatkan karena Allah. Yang kedua, kamu harus tenang. Dan yang terakhir, jangan lupa untuk berdoa, serahkan semua hasil akhirnya pada Allah. Yakin, kalau apa yang menjadi hasilnya itu udah yang terbaik buat kamu menurut-Nya. Paham?"

Rendra mengangguk. "Paham, Papa. Makasih buat sarannya. Sekarang ... rasa takutnya udah berkurang. Yuk, berangkat." Lelaki itu meraih kunci mobil yang terletak di atas nakas. Lantas menggandeng tangan papa dan mamanya, merangkul mereka berdua dengan sayang.

*****

Suara gemericik air yang berasal dari kolam ikan di hadapannya menimbulkan keceriaan tersendiri baginya. Pantulan dari sang rembulan yang tercetak jelas di permukaan air pun menambah keindahan yang tercipta. Sesekali, gadis itu memasukkan tangannya ke dalam air, lalu menggoyangkannya, memunculkan riak-riak kecil disana.

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang