Happy reading
*****
Terik mentari yang menyilaukan mampu menembus masuk ke jendela lebar pada ruangan Acha. Merasa tidak nyaman, ia memilih untuk beranjak, lalu menarik tirai untuk menghalangi kemilau dari sinar mentari itu. Usai berhasil, gadis itu kembali ke pekerjaannya. Bertempur dengan setumpuk file dan laptop di hadapannya yang cukup menguras tenaga.
Ya, setengah tahun bekerja disini membuat Acha paham, betapa sulitnya mengurus sebuah perusahaan. Ia kagum pada ayahnya, yang bisa menghandle dua sekaligus. Hebatnya, ayahnya itu sama sekali tak pernah mengeluh di rumah.
Meskipun kerap kali dilanda lelah, Revan hanya diam saja. Baginya, lelah adalah konsekuensi yang harus ia terima dan hadapi ketika memilih jalan ini. Dan lagi, bukankah tidak ada pekerjaan yang tidak melelahkan?
Acha menghela napas. Berusaha mengenyahkan pening yang semakin menjalari kepalanya. Berjam-jam berhadapan dengan layar laptop, membuat matanya perih dan berair.
Ia melirik jam dinding, hampir masuk waktu makan siang dan pekerjaannya belum selesai. Mungkin, hari ini ia akan melewatkan makan siang lagi seperti yang sudah-sudah.
Memang, semenjak bekerja, kehidupan Acha menjadi sedikit berubah dari biasanya. Biasanya, ia bisa dengan mudah makan siang di jam berapapun yang ia mau, namun sekarang, untuk makan siang ia harus berpikir dulu, apakah pekerjaannya sudah selesai atau belum? Apakah tidak ada pekerjaan lagi? Dan lain sebagainya.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuyarkan semua hal yang ia pikirkan. Dengan jari jemari yang masih sibuk berselancar di atas keyboard serta mata yang tak lepas dari layar, Acha mempersilakan seseorang itu masuk. "Masuk aja!"
"Wah wah, kayaknya kamu sibuk banget ya sekarang? Sampai jam makan siang pun kamu nggak keluar buat makan. Jangan gitu, Cha. Nanti kamu sakit loh." Suara yang menyapa itu berhasil membuat Acha melongok dari laptopnya. Memastikan, apakah dugaannya benar atau tidak.
"Loh, Kak Rendra? Kenapa disini?" tanya Acha. Ia mengerutkan dahinya bingung. Sedikit terkejut dengan kehadiran lelaki yang sudah ia anggap seperti kakaknya itu.
"Apa salahnya kalau kakak datang kesini?" Bukannya menjawab, Rendra malah balik bertanya. "Kamu masih ada kerjaan? Makan siang bareng yuk, Cha? Kebetulan, ada yang mau kakak omongin ke kamu pas makan siang," ungkapnya.
"Iya nih, kak. Masih ada kerjaan Acha yang belum selesai. Kan besok direktur perusahaan yang dari Swiss itu mau datang kesini. Mau merealisasikan rencana buat bangun propertinya. Ya, setelah sekian rencana, akhirnya dia mau datang juga. Jadi mau nggak mau ya, Acha harus selesaikan kerjaan ini segera."
"Acha, hei. Memang disiplin dan tepat waktu dalam pekerjaan itu bagus, bahkan sangat bagus. Tapi kamu juga harus ingat sama badan kamu. Sama semua organ tubuh kamu yang udah bantu."
"Tanpa asupan makanan, fungsi mereka bakalan keganggu, dan dampaknya kamu bakal sakit. Kalau sakit, nanti kerjaan yang harusnya udah selesai jadi terbengkalai. Udah dulu ya kerjanya, tutup dulu laptopnya. Tuh, liat mata kamu sampai merah. Mendingan, kamu cuci muka, terus makan siang dulu. Kakak traktir deh, kamu mau makan apapun kakak turutin. Asalkan kamu mau makan siang. Kasihan lambung kamu tuh."
Pidato Rendra yang panjang lebar kali tinggi akhirnya didengar oleh Acha. Apa yang dikatakan oleh Rendra ada benarnya. Jika Acha memaksa untuk terus bekerja, bisa-bisa ia tumbang dan besok tak bisa menyambut tamu penting itu dengan baik.
Lagipula, perutnya juga sudah terasa sakit daritadi. Selain sakit karena tamu yang tidak diundang, ia merasakan sakit akibat rasa lapar yang mendera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Acha ✓
Spiritual[ Sequel Maudya ] Kehidupan Acha-Arsha Indira Brawijaya yang semula tenang seketika berubah. Berawal dari pertemuan yang tak sengaja dengan Edward, seorang pemuda blasteran Indonesia-Australia, kini dunianya serasa dijungkir balikkan oleh Edward. Ac...
