Bagian 17

523 42 0
                                    

Happy reading

*****

Jam perkuliahan sudah selesai. Dosen sudah mengakhiri pelajarannya satu menit yang lalu. Akhirnya, Edward dapat bernapas lega dan meregangkan otot-ototnya yang lelah akibat terlalu lama duduk dan menulis.

Bahkan, tinta penanya kini hanya tersisa setengah. Padahal, tadi dia membawa pena baru. Ia berdiri dari kursinya saat ruang kelas sudah kosong. Alasannya sederhana saja, karena ia tak ingin berdesak-desakan dengan mahasiswa lain kala melewati pintu yang hanya satu itu.

Ia menyampirkan tas ransel ke pundaknya. Meletakkan sebelah tangannya di saku celana, lalu bergegas keluar. Kalau tidak salah, hari ini tidak ada jadwal meeting apapun dan ia juga tidak diharuskan ke kantor saat ini. Jadi, ia bisa bersantai sejenak. Mungkin, ia akan berjalan-jalan sebentar di area kampus.

Begitu keluar dari ruang kelasnya, Edward langsung menuju ke taman kampus sejenak. Mata hazelnya menyapu pemandangan di sekeliling taman. Rupanya, taman ini tak kalah cantik dengan taman kota yang biasa ia kunjungi. Terdapat beberapa kursi taman berwarna putih dan lentera berbentuk bundar di sekelilingnya. Di pohonnya, juga terdapat lampu-lampu kecil yang dipasang memutari batang pohon. Menambah penerangan saat malam tiba.

Senyum sangat tipis terlihat di wajahnya kala melihat semua pemandangan yang ada di taman itu. Ia merogoh ponselnya, menghubungkannya dengan earphone dan menyumpalkan ke telinga. Tampaknya, ini sudah cukup. Edward memutuskan untuk meninggalkan taman dan menyusuri jalanan di kampus yang sudah sepi.

Namun, di tengah jalan, Edward mendadak berhenti. Dari arah berlawanan, dia melihat perempuan yang sepertinya tak asing. Manik matanya menatap lamat-lamat perempuan yang sedang berjalan dengan kedua temannya itu.

Nahasnya, perempuan yang sedang diamatinya itu terjatuh akibat tak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri. Buku-buku di dekapannya pun jatuh berserakan.
Tanpa pikir panjang, Edward menghampiri perempuan itu. Mengambil sebuah buku yang terjatuh di depannya.

"Excuse me. Is this yours?" Ucap Edward. Ia memilih menggunakan bahasa inggris karena ia belum yakin bahwa perempuan di depannya ini adalah Acha.

Dua detik berlalu, perempuan itu masih setia dengan posisinya yang menunduk. Edward pun juga sama. Tangannya masih terulur untuk memberikan buku milik perempuan itu. Saat dia mendongak, tanpa sadar Edward menggumamkan namanya.

"Acha." Lirih Edward.

Acha tertegun mendengar Edward menyebut namanya.

"E-Edward?" Ucap Acha sedikit tergugu.

Manik mata keduanya sempat bertubrukan sesaat. Sebelum Acha mengalihkan pandangannya ke arah lain sembari menggumamkan istighfar untuk menenangkan jantungnya yang entah mengapa berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya.

Sayangnya, momen yang sedikit dramatis itu harus terganggu oleh celetukan Nadine yang tiba-tiba. "Cha, kamu sampai kapan mau duduk di jalanan gitu? Ayo bangun atuh." Nadine mengulurkan tangannya untuk membantu Acha.

Uluran tangan Nadine diterima. Setelahnya, Acha mengambil bukunya yang masih berada pada Edward. "Thanks." Lirihnya pada Edward.

"Dia doang yang di ucapin makasih nih? Aku nya nggak? Emang siapa sih dia Cha? Pacar kamu?" Protes Nadine sembari berkacak pinggang. Sementara Fina, dia hanya diam saja. Tugasnya disini hanya sebagai pengamat situasi saja, yang nantinya akan ia laporkan kepada atasannya.

Baik Edward maupun Acha kompak menggeleng. "Bukan! Kita nggak pacaran! Cuma teman aja kok!" Koor mereka berdua. Membuat tawa Fina dan Nadine meledak saat itu juga.

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang