Bagian 47

566 47 6
                                    

Happy reading

*****

Pintu mobil berwarna hitam itu tampak dibuka dari kedua sisinya. Dua pria berbeda generasi keluar dari sana. Mereka bergegas, berlari tergesa-gesa dari parkiran menuju ke rumah sakit. Salah satu dari mereka berlari sembari memegang ponselnya, hendak menelpon seseorang.

"Halo, Za? Ini aku sama Rendra udah sampai. Kamu dimana? Acha gimana?"

"Kamu ke ruangan penanganan paling ujung di lantai satu, Mas. Aku disana. Ada Edward juga kok. Acha ... dia masih ditangani oleh Dokter Rizwan."

"Oke, aku sama Rendra kesana sekarang. Kamu tunggu ya."

Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Revan. Ia dan Rendra segera menuju ke ruangan yang ditunjukkan oleh Maudy lewat telepon. Walaupun mereka ingin berlari agar cepat sampai, namun mereka tidak bisa. Karena mereka menghormati para pasien yang dirawat disini juga. Mereka tidak ingin mengganggu waktu istirahat para pasien.

"Azza!" Revan berteriak kala melihat sosok istrinya terduduk di kursi tunggu. Di sebelahnya, duduk pula seorang pria sebaya dengan Acha yang Revan yakini adalah Edward. Ia menghampiri Maudy.

"Gimana Acha, Za? Kenapa bisa sampai seperti ini?" Revan memegang kedua bahu Maudy, meminta penjelasan darinya. Raut khawatir amat kentara di wajah Revan. Ia langsung bergegas kemari usai ditelpon oleh Maudy.

Maudy menggeleng. "Aku nggak tahu, Mas. Acha masih disana." Maudy menoleh, menunjuk ruang penanganan di belakangnya.

Sementara itu, sesuatu yang Rendra lihat membuatnya curiga. Matanya memicing ke arah Edward. Menyelidik dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Rendra menarik kerah kemeja Edward. Lelaki yang menunduk itu tersentak, ia refleks mencengkeram lengan Rendra yang menarik kerahnya. "Berdiri!" desis Rendra dingin.

Edward menurut saja, seperti apa yang dikatakan Rendra dirinya berdiri. "Apa yang sudah kamu lakukan pada Acha, hah?! Kenapa ada bercak darah di pakaian kamu?! Itu darah Acha kan?!" Edward diam, membuat Rendra semakin geram.

Biarlah dia dipukuli oleh Rendra. Sekalipun sampai babak belur, Edward tidak peduli. Karena ia menganggap ini semua adalah salahnya. Sebab dirinyalah Acha bisa celaka.

Bugh!

"Ayo jawab!"

Bugh!

Amarah Rendra memuncak. Rahangnya mengeras, matanya berkilat menyiratkan  emosi memuncak. Napasnya memburu
Dua bogem mentah mendarat begitu saja di rahang Edward. Menimbulkan luka lebam berwarna kebiruan disana, lengkap dengan sudut bibir yang berdarah.

"Jangan diam aja! Cepetan jawab!" Merasa semakin geram dengan Edward yang bergeming. Tangannya terkepal, hendak mendaratkan pukulan lagi pada Edward. Namun, sebelum tangan itu tepat mengenai pipi Edward, seseorang menahannya.

"Kalian berdua, cukup! Jangan bertengkar di rumah sakit!" Revan menengahi kedua pemuda itu. Memisahkan mereka berdua.

Maudy maju, berdiri diantara dua pemuda yang dipisahkan oleh Revan. Ia menatap Rendra.

"Rendra, Edward nggak salah. Justru dia yang sudah nolongin Acha dan bawa Acha kesini. Mengenai bercak darah, itu memang darah Acha," jelas Maudy. Ia sengaja memotongnya, membiarkan Rendra mengatur napas agar lebih tenang.

"Darah itu bisa menempel pada kemeja Edward, karena saat itu, Edward menggendong Acha menuju ke ambulans. Sekarang sudah jelas kan, Rendra? Jangan suudzon dulu sampai kamu tahu kebenarannya. Istighfar, nak. Tenangkan diri kamu."

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang