Bagian 23

435 38 0
                                    

Happy reading guys

*****

Nadine menatap nanar wanita paruh baya yang kini terbaring lemah di brankar. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan wanita itu, seolah tak mau kehilangannya. Tadi malam, Nadine terpaksa merujuk mamanya ke rumah sakit. Dokter keluarga mereka bilang jika mamanya akan mendapatkan penanganan yang lebih lengkap di rumah sakit, karena kondisi mamanya yang kritis dan mengalami hipotermia parah.

Wajar saja, siapa manusia yang bisa tahan jika dipaksa berendam dalam air berisi es di malam hari? Nadine saja tak sanggup membayangkan betapa dinginnya air itu. Ia mengamati pahatan wajah Falda yang sudah tak muda lagi. Terdapat beberapa kerutan di wajah mamanya, namun itu tak mengurangi kecantikannya.

Ia menelungkupkan wajahnya. Lalu bergumam. "Ma, cepat sembuh ya? Disini Nadine sendiri, papa sekarang lebih milih sibuk nyelamatin perusahan kita. Ma, cepat bangun ya? Temani Nadine disini."

Ya Allah, maafkan hamba. Sebenarnya, hamba tidak mau menyetujui persyaratan papa. Tapi ... kalau hamba menolak, mama ... mama bisa nggak selamat. Batin Nadine kalut. Air matanya kembali merembes kala mengingat kejadian semalam.

Nadine mendongak ketika merasakan belaian lembut di puncak kepalanya. Ternyata, mamanya sudah sadar. Buru-buru, Nadine menghapus air mata yang masih tersisa. "Mama udah sadar. Mau minum dulu ma? Atau mama mau makan? Biar Nadine ambilkan ya ma?"

Falda menggeleng pelan. "Nggak usah sayang, mama nggak mau apa-apa. Maafkan mama ya nak, semalam, mama nggak bisa berbuat apa-apa waktu papa mengajukan syarat itu. Jujur ... mama nggak tahu, kalau papa akan melakukan hal seperti itu agar kamu mau menyetujuinya."

Nadine tak menjawab, memilih menyuguhkan senyum teduhnya agar namanya merasa tenang. Suasana menjadi hening sejenak. Dua wanita berbeda generasi itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya, Falda buka suara. Memberikan solusi agar putrinya tak harus memenuhi syarat gila itu.

"Nak, bagaimana kalau kita pulang ke Indonesia saja? Kita pulang diam-diam dan jangan beritahu papa mu."

"Tapi ma ... gimana kalau ketahuan papa? Nadine nggak mau ya, nantinya mama yang malah nanggung akibatnya. Mama kan juga masih belum sehat sekarang." Lirih Nadine. Ia rasa, kemungkinan berhasilnya rencana Falda hanya sedikit.

"Kamu tenang saja nak." Falda mencoba untuk bangun dan melepas infus yang masih membalut tangannya. Dengan sedikit meringis, ia berusaha keras untuk mencabut jarum infus itu. "Kita nggak akan ketahuan kok, karena kita bakal kabur sekarang. Dan mama sudah sehat kok. Yuk, sekarang tolong bantu mama ya."

Nadine tercengang. Ia tak sangka, mamanya bisa senekat ini. Tapi, apa salahnya mencoba. Jika ia dan mamanya bisa lepas dari pengawasan papanya, maka dirinya tak perlu melakukan syarat itu dan bisa hidup seperti semula. Nadine mengangguk mantap, ia terus merapalkan doa dalam hatinya.

"Tunggu ma, kita ke Indonesia kan naik pesawat, terus uang siapa? Uang Nadine tadi udah kepakai buat bayar biaya rumah sakit." Hampir saja Nadine lupa soal ini.

"Tenang sayang, mama masih punya pegangan uang kok. Tadi malam, pas kamu kesini, kamu juga bawa dompet mama kan nak? Coba tolong ambilkan."

Nadine meraih sling bag yang ada di meja. Lantas mengambil sebuah dompet berwarna hitam. Ia tak sangka, perintah mamanya untuk membawa dompet cadangan itu akan berguna juga sekarang. "Ini ma, dompetnya."

Falda membuka dompet itu. Ia tersenyum lega karena uang di dalamnya masih utuh. Belum tersentuh sama sekali. "Nah, cukup nak. Kita bisa pulang ke Indonesia. Udah ya ngobrolnya, sekarang kita harus cepat keluar dari sini."

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang