Happy reading
*****
Suara adzan dhuhur berkumandang dengan sangat merdu. Edward yang tadinya fokus berkutat pada laptop di hadapannya cepat-cepat menutup laptop itu. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku akibat hampir seharian ini duduk diam di ruangannya.Sudah sekitar sepuluh hari dia disini, namun Acha tak kunjung memberinya kesempatan untuk bicara. Entahlah, gadis itu selalu saja mempunyai cara untuk bisa menghindar darinya.
Kalau tidak menghindar, maka berbagai alasan akan dilemparkan oleh Acha agar Edward tidak punya kesempatan bicara. Atau ... Acha akan mengabaikannya dan pergi begitu saja. Ya, kemungkinan ketiga memang lebih menyakitkan dari dua kemungkinan sebelumnya.
Namun tak apa. Edward tidak akan berhenti untuk berusaha sampai Acha mau mendengarkannya. Ia yakin, suatu saat, hati gadis itu pasti luluh kembali, sebab Acha adalah gadis baik yang tidak akan tega mengabaikan lawan bicaranya begitu lama. Edward yakin akan itu semua.
Saking asyiknya memikirkan Acha, Edward sampai tak sadar bahwa ia sekarang satu lift dengan Acha. Dirinya berdehem singkat untuk mengurangi suasana canggung yang tercipta. "Ekhem. Tumben nggak bareng Mbak Salma?" tanyanya. Sekadar untuk basa-basi.
"Mbak Salma lagi halangan, dia juga bawa bekal sendiri, jadi nggak ke bawah," jawab Acha tanpa menoleh sedikitpun. Ia asyik sendiri memperhatikan layar ponselnya.
"Oh, gitu. Btw, nanti habis dhuhur agendanya kita mau ke lokasi kan? Mau lihat progres pembangunan restorannya jadi?"
"Ya, jadi. Nanti habis dhuhur tunggu saja di lobby."
"Gimana kalau sekalian makan siang? Biar saya yang traktir kamu. Udah lama kan, kita nggak makan siang bareng. Terakhir aja, pas masih kuliah di Sydney dulu." Edward sedang berusaha. Berusaha membangun rasa akrab yang pernah ia hancurkan dulu hingga Acha memilih untuk menjauh seperti sekarang.
"Ah, maaf, Edward, saya nggak bisa," tolak Acha dengan halus. Takut menyinggung perasaan Edward. Mungkin, selama sepuluh hari ini, ia sudah bersikap keterlaluan pada Edward dengan mengabaikannya saat meminta kesempatan bicara.
Edward mengernyit. Apakah ada yang salah dengan ajakannya sehingga Acha menolaknya?
"Why?"
"Karena ini hari kamis, dan saya sedang puasa sunnah. Jadi tidak bisa. Maaf ya, Edward."
"Nggak, Cha. Kamu nggak perlu minta maaf. Justru saya yang harusnya minta maaf karena mengajak kamu makan siang, padahal kamu sedang berpuasa. Maybe next time?"
Gadis itu mengangguk. "Insyaallah, Edward."
Pintu lift terbuka. Acha menyimpan ponselnya ke saku, lalu menoleh pada Edward. "Saya duluan. Nanti kalau sudah di lobby, chat saja oke."
"Hmm ... oke," sahut Edward. Entah mengapa, hanya dengan sedikit respon dari Acha tadi, ia merasa senang. Semoga saja, setelah ini, Acha mau mendengarkan apa yang ingin dia sampaikan.
*****
Acha melipat mukenahnya, kemudian menaruhnya lagi ke lemari yang terletak di sudut ruangan masjid. Dirinya baru saja selesai menunaikan shalat dhuhur berjamaah di masjid dekat kantor. Tak hanya dirinya, beberapa pegawai pun menyempatkan untuk melaksanakan shalat terlebih dahulu.
"Mbak Arsha, saya duluan ya," ucap salah satu pegawai yang kebetulan satu shaf dengannya.
"Iya, silakan." Acha mengulum senyum. Mempersilakan pegawai itu untuk beranjak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Acha ✓
Espiritual[ Sequel Maudya ] Kehidupan Acha-Arsha Indira Brawijaya yang semula tenang seketika berubah. Berawal dari pertemuan yang tak sengaja dengan Edward, seorang pemuda blasteran Indonesia-Australia, kini dunianya serasa dijungkir balikkan oleh Edward. Ac...