Bagian 11

732 40 0
                                        

Happy reading

*****

Edward melenggang santai masuk ke  rumahnya. Begitu menginjakkan kaki di ruang tamu, refleks langkahnya berhenti seketika. Membeku di tempat seperti tak ingin mendekati sosok yang tengah duduk di sofa sambil membaca buku itu. Edward yakin, ayahnya hanya berpura-pura membaca buku di tangannya itu. Ayolah, sekarang mana ada orang membaca namun matanya tak menatap buku yang dibacanya? Meliriknya saja tidak. Ia berpikir, buku di tangan ayahnya itu hanya pengalihan. Untuk meredam gejolak amarah ayahnya yang tampaknya siap meletus kapan saja.

Dan Edward bisa menebak, mengapa ayahnya sampai mengeluarkan aura kemarahan yang begitu pekat seperti itu. Oh, sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi Edward. Seperti saat ia lupa bahwa ada meeting penting dengan klien dan malah memilih menunggu gadis itu di taman.

Edward menghirup napas dalam-dalam. Berusaha untuk tenang. Ya, tidak ada cara lain untuk menghadapi ayahnya selain bersikap tenang. Jika Edward melawan pun percuma, karena Edward tahu, ayahnya tak suka jika ada orang yang membantah. Ia mendekati sang ayah, duduk di single sofa yang berada di samping sofa yang diduduki ayahnya.

"Malam daddy, sorry aku barusan pulang." Edward menunduk setelah mengatakan itu. Sebisa mungkin, ia berusaha tenang saat ayahnya menjawabnya.

"Darimana kamu?!" Ternyata, benar dugaan Edward. Ayahnya sedang marah. Ia melayangkan tatapan tajam pada Edward saat ini.

"Dari ... taman dad." Begitu Edward menyebut kata taman. Joan—ayahnya langsung berdiri. Menggeleng sambil terkekeh sejenak. Lalu kembali menatap putra semata wayangnya itu.

"Taman? Oh, come on Edward, ngapain kamu ke taman? Nyari kupu-kupu? Atau, main bola sama anak kecil? Dasar bodoh!"

"Daripada kamu buang-buang waktu berharga mu untuk ke taman dengan tujuan yang tidak jelas seperti itu, lebih baik kamu belajar untuk mempersiapkan S2 mu! Daddy sebentar lagi akan mendaftarkanmu untuk kuliah kembali di jurusan manajemen bisnis, daddy berharap, kamu nggak menolak itu! Buktikan sama ibumu dan keluarganya yang hina itu, kalau kamu juga bisa sukses kalau tinggal sama daddy!"

Hah ... sesungguhnya, Edward tak akan menolak jika harus kuliah lagi. Namun, yang Edward sesalkan, mengapa daddy nya terus saja mengolok mendiang ibunya dengan sebutan wanita hina? Itu sungguh menyakitkan baginya. Tak ingatkah daddy nya itu, bahwa yang dihina adalah wanita yang dulu pernah mengisi hari-hari nya sekaligus mengisi hatinya?

Memang, ibunya melakukan kesalahan, namun setelah sepuluh tahun lamanya, apakah daddy nya tak bisa memaafkan ibunya? Tak bisa kah daddy nya membiarkan ibunya tenang di alam sana? Edward hanya tak ingin, jika daddy nya tenggelam dalam dendam dan kebencian yang mendalam seperti ini.

"Ed, kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak setuju jika daddy meminta mu untuk kuliah lagi?" Joan melembut kembali. Nada bicaranya sudah tak setinggi saat Edward datang tadi. Oh, mungkin itu terjadi karena Joan melampiaskan kekesalannya dengan mengolok mendiang mantan istrinya tadi.

"Eh, nggak papa kok dad. Aku setuju kok setuju," ujarnya seraya tersenyum.

Mendengarnya, Joan pun jadi ikut tersenyum. Ia menepuk-nepuk bahu Edward. "Sekarang, kamu ke kamar sana. Mandi, terus belajar. Nanti makan malam mu akan diantar sama maid disini." Edward mengangguk, lalu meninggalkan ruang tamu megah itu menuju ke kamarnya yang tak kalah megah.

*****

Senyum secerah mentari pagi itu kembali merekah sempurna dari bibir Acha. Sambil bersenandung, ia menatap puas kue-kue yang sudah tertata rapi nan cantik di toplesnya masing-masing. Bukannya merasa lelah, Acha justru merasa semangat. Memang, membuat kue adalah salah satu mood booster baginya selain membaca Al-Qur'an. Sekarang, tinggal kue macaron pesanan Rendra yang harus ia selesaikan dengan mengisikan krim cokelat ke dalam kuenya.

Kadang, Acha tak habis pikir dengan Rendra. Bagaimana tidak? Lelaki setampan dan segagah Rendra ternyata amat sangat menyukai cokelat yang kebanyakan menjadi makanan favorit perempuan. Hahaha... Acha sampai tertawa sendiri saat mengingatnya. Mengingat bagaimana ekspresi wajah serta mata hitam legam Rendra yang berbinar ketika meminta Acha untuk membuatkan macaron cokelat kesukaan Rendra.

Akhirnya, macaron pesanan Rendra pun sudah siap. Acha memotretnya sebentar sebelum menatanya ke dalam toples yang sudah ia siapkan. Memang ada kalanya Acha memotret beberapa kue buatannya untuk di posting di instagram serta toko online miliknya, agar dapat menarik pembeli.

 Memang ada kalanya Acha memotret beberapa kue buatannya untuk di posting di instagram serta toko online miliknya, agar dapat menarik pembeli

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ekhem." Terdengar suara deheman singkat dari belakang sana. Dan Acha tahu, siapa yang berdehem itu. Dia Arka, kakak kembarnya. "Ada yang senyum-senyum sendiri nih! Sambil bersenandung pula!" Arka mendekati Acha dan berhenti tepat di sampingnya.

"Apaan sih kak? Acha cuma lagi selesaikan pesanan dari Kak Rendra kok, nggak ada apa-apa!," tukasnya tajam sambil menodongkan plastik berisi krim cokelat pada Arka.

Seringai licik muncul di wajah Arka."Oh, jadi tadi kamu nggak mau diantar kakak gara-gara kamu janjian sama Rendra ya?" Goda Arka seraya menaik turunkan alisnya.

"Nggak kak, Acha tadi tuh nggak janjian sama Kak Rendra! Tadi, kata Kak Rendra, dia kesini, tapi Acha nya udah pergi. Jadi dia ngusulin Acha ke toko kue. Yaudah, kita sekalian makan siang dong." Acha menjelaskan secara runtut tanpa ada yang tertinggal satu apapun. Acha tahu, ini hanya akal-akalan Arka saja yang ingin menggodanya.

"Masa?," selidik Arka tak percaya.

"Iya kak, Acha nggak bohong. Udah deh, daripada kakak godain Acha terus, mendingan kakak bantu Acha sekarang." Acha memberikan beberapa paper bag berisi kue.

Mau tak mau, Arka menerimanya. Raut wajah Arka seolah mengatakan 'apa' pada Acha karena telah memberinya paper bag itu. "Kakak mendingan bantu Acha buat antar kue-kue ini ke tetangga. Oke kak?"

"Yaudah iya iya. Kakak bantu deh. Tapi ... yang antar kue buat Rendra nanti siapa? Kamu sendiri?"

"Ya nggak lah kak. Nanti Acha antar pakai jasa kurir aja. Soalnya, kalau Acha sendiri nggak bakal sempat. Besok kan kita mau balik ke Sydney kak. Dan Acha belum beres-beres sama sekali."

Arka mengangguk. "Benar juga kamu Cha. Oke, kakak setuju. Sekarang, kakak mau antar kue ke tetangga dulu ya. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati kak!," teriak Acha kala mendapati punggung kakaknya menjauh. Alhamdulillah, akhirnya semua pesanan kuenya selesai. Tinggal membersihkan peralatan untuk membuat kue dan membereskan barang-barangnya untuk dibawa ke Sydney nanti. Acha harap, semuanya akan dilancarkan oleh Allah, aamiin.

*****

Terima kasih yang udah mau baca

See you next chapter.....




15 Maret 2021

dif_ran


Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang