Bagian 22

463 35 0
                                    

Happy reading guys

*****

Edward terlihat sedang duduk di meja makan. Tangannya asyik membuka kotak muffin dari Acha tadi. Tak sabar untuk mencoba kue buatan Acha. Begitu dibuka, harum kuenya langsung menyapa indera penciumannya. Berhasil membuat cacing di lambungnya melakukan demonstrasi meminta makan. Tanpa menunggu lagi, ia mengambil satu muffin, lalu melahapnya.

Enak sekali! Batinnya berteriak heboh. Ini persis sekali seperti muffin buatan ibunya dulu. Ya, alasan Edward memesan muffin adalah karena ia rindu dengan kue itu. Dulu, sewaktu ia kecil, ibunya sering membuatkan muffin untuknya dan daddy nya.

Semula, ia tak berekspektasi tinggi pada kue yang dibuat Acha. Namun, dugaannya runtuh seketika kala merasakan muffin itu.

Ia mengambil segelas air, meneguknya hingga tandas, lalu membuang kertas bekas pembungkus muffin. Tak disangka, ia sudah menghabiskan tiga muffin sendirian. Pantas saja, rasanya kenyang sekali. Sudah cukup, ia rasa ia tak akan ikut dinner malam ini.

*****

Sementara itu, di tempat lain, Nadine menghempaskan tubuhnya pada single sofa di ruang tamu. Dihadapannya, sudah duduk mama dan papanya. Masing-masing memasang tampang yang serius. Membuat Nadine bingung. Apa agaknya yang mau dibicarakan oleh orang tuanya? Sungguh membuat tingkat penasaran Nadine naik.

Ray—papa Nadine, menyodorkan sebuah dokumen ke arahnya. Ia mengernyit bingung, kira-kira apa isi dokumen ini? Nadine meraihnya, membuka perlahan dokumen tersebut. Membacanya dengan seksama.

Tak beberapa lama, raut wajah Nadine berubah menjadi lebih serius, seperti papa dan mamanya. Ia menaruh dokumen itu ke tempat semula. Mendadak, kepalanya menjadi pening.

"Kamu sudah tahu kan sekarang, apa yang terjadi sama perusahaan kita?" Ray buka suara. Nadine mengangguk pelan. Hatinya terasa pedih saat ini.

"Jadi ... kita bangkrut papa? Apa tidak ada usaha yang bisa Nadine lakukan untuk membantu?" Lirihnya putus asa.

Ray tersenyum. "Ada satu."

"Apa itu papa?"

Ray berdiri, membelakangi putri dan istrinya. "Perusahaan kita masih bisa selamat, karena papa berhasil menjalin kerja sama dengan rekan lama papa. Dia menyetujui untuk memberikan dana bantuan sekaligus kerja sama dengan kita, tapi ada syaratnya. Dan yang bisa memenuhi syarat itu hanya kamu nak."

"Apa syaratnya? Selama Nadine sanggup, Nadine akan berusaha penuhi!" Tegas Nadine.

"Syaratnya ... kamu harus menikah dengan anak rekan papa itu. Tapi ... kamu harus pindah agama dulu sebelum menikahi putra rekan papa itu. Bagaimana nak? Kamu bersedia? Tolong nak, terima saja persyaratan ini. Karena hanya ini satu-satunya jalan."

Deg!

Nadine membelalak. Matanya membulat sempurna. "Nggak, Nadine nggak mau kalau begini pa! Kalau misalnya hanya menikah, Nadine masih bersedia. Asalkan calonnya itu seiman sama Nadine! Tapi kalau begini ... bagaimana bisa Nadine menggadaikan agama Nadine buat uang? Maaf, Nadine nggak bisa pa." Nadine bangkit, hendak meninggalkan ruang keluarga. Namun suara menggelegar papanya melarangnya untuk beranjak.

"Nadine! Tetap disana!" Ray mendekati Nadine. Mencoba mematahkan pendirian anaknya. Ia mengeluarkan selembar foto dari kantongnya dan melemparnya ke arah Nadine.

"Itu foto dari putra rekan papa. Dan papa tahu, dia satu kampus dengan kamu kan? Ada salah satu bodyguard kita yang bilang, kalau kamu pernah terlihat bersama dengan dia. Tentunya dengan kedua temanmu juga. Apa benar?"

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang