Happy reading
*****
"Assalamu'alaikum, Cha. Long time no see, hm?"
Deg!
Ucapan sapaan yang berjumlah kurang dari sepuluh kalimat itu mampu meruntuhkan pertahanan yang Acha buat selama beberapa tahun ini. Tubuhnya seolah membeku di tempat. Senyum tulus yang sebelumnya terpatri, kini hilang tanpa bekas, menyisakan raut wajah terkejut yang amat kentara.Suara itu, wajah itu, serta iris matanya yang berwarna hazel. Acha sangat amat mengenal siapa lelaki yang tengah memasang senyum lebar dihadapannya ini. Dia adalah Edward. Laki-laki yang telah mengenalkannya dengan luka yang bernama patah hati.
Acha pikir ... setelah ia kembali ke Indonesia, dia tidak akan bertemu lagi dengan Edward. Namun nyatanya, pemikirannya itu seratus persen salah. Karena dia hanya bisa berencana serta menduga. Sementara Allah lah yang telah menakdirkannya untuk bertemu lagi dengan Edward.
Melihat atasannya itu melamun, Salma menyenggol pelan lengan Acha. Menyadarkannya dari lamunannya. "Mbak Arsha. Kok malah melamun? Ini kita lagi ada tamu penting loh," bisik Salma pelan.
"E-eh? I-iya." Acha menarik napas dalam-dalam. Menenangkan dirinya yang mendadak gugup. Sekaligus menenangkan hatinya yang mendadak bergejolak.
Ia memasang senyum seperti tadi. Bedanya, senyum kali ini sedikit ia paksakan. "Wa'alaikumsalam. Ayo, silakan masuk dulu. Saya antarkan ke ruangan anda." Gadis itu berbalik, diikuti dengan Salma disebelahnya serta Edward yang menyusulnya. Mencoba mensejajarkan langkah dengan Acha.
Langkah kaki mereka berhenti di lantai tiga. Lebih tepatnya di ruangan sebelah ruangan Acha. Sebenarnya, bukan Acha yang menyiapkan ruangan itu. Melainkan Revan.
Jadi, mau tak mau, Acha harus menuruti pesan Revan agar memberikan ruangan ini pada direktur perusahaan dari Swiss yang tidak lain dan tidak bukan adalah Edward.
"Ini ruangan anda. Silakan masuk." Acha membuka pintu berwarna putih itu. Menampilkan detail interior ruangan yang bergaya modern.
"Umm ... terima kasih sebelumnya, karena kamu telah menyambut saya dengan baik. Kalau boleh ... apa saya bisa berbicara denganmu? Berdua saja?" Edward menekankan kalimat 'berdua saja' seakan menyuruh Salma untuk keluar dari ruangan itu.
Karena Salma memiliki tingkat kepekaan yang cukup tinggi, ia berlalu dari sana. Menuju ke kubikelnya untuk melanjutkan pekerjaannya. Lagipula, ia juga tak mau menguping pembicaraan antara kedua orang yang Salma duga sudah saling mengenal sebelumnya.
"Cha, sebenarnya—"
"Maaf, tapi saya rasa ... sebaiknya, anda gunakan waktu yang singkat ini untuk beristirahat. Saya yakin, anda pasti lelah usai menempuh perjalanan jauh."
"Nanti, pukul sembilan, anda akan saya ajak untuk berkeliling perusahaan, dan setelahnya, kita ada rapat untuk membahas mengenai kerja sama kita. Saya permisi."
"Tapi ... Cha! Tunggu!" Edward berusaha menghentikan Acha. Berhasil, gadis itu berhenti sejenak. Ia menoleh, menatap sendu lelaki di belakangnya itu.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Edward. Dan, ya ... kalau kamu mau bicara, kamu bisa bicara pada saat rapat nanti. Disana, kamu bisa membicarakan apapun yang kamu mau mengenai kerja sama kita."
Usai mengatakan hal itu, Acha meneruskan langkahnya yang sempat tertunda. Ya, ini sudah benar. Menjaga jarak dengan Edward adalah keputusan terbaik yang bisa Acha ambil. Karena, Edward sudah menjadi suami dari sahabatnya—Nadine.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta Acha ✓
Spiritualité[ Sequel Maudya ] Kehidupan Acha-Arsha Indira Brawijaya yang semula tenang seketika berubah. Berawal dari pertemuan yang tak sengaja dengan Edward, seorang pemuda blasteran Indonesia-Australia, kini dunianya serasa dijungkir balikkan oleh Edward. Ac...