Bagian 32

451 30 0
                                    

Happy reading

*****

Edward tak sangka, jika dia akan berakhir disini bersama Nadine. Berakhir duduk di taman karena kelelahan mengurus persiapan pernikahannya bersama Nadine. Ya, tadi setelah makan siang, saat ia tengah menggebuk drumnya dengan membabi-buta untuk mencurahkan semua rasa, tiba-tiba daddy nya datang ke kamarnya. Joan meminta Edward dan Nadine untuk mengecek persiapan pernikahan mereka.

Mau tidak mau, Edward terpaksa menuruti permintaan daddy nya karena Nadine terlanjur ada di bawah. Ia tidak mau jika Nadine malu nantinya karena ia menolak permintaan Joan.

"Huft ... capek banget hari ini. Dari habis makan siang suruh lihat gedung lah, fotografer prewedding, fitting baju prewedding! Banyak banget sih!" Edward meraup wajahnya. Ia mengibaskan tangannya karena merasa kepanasan.

"Iya nih, capek banget! Walaupun pernikahan ini bukan kita yang mau, tapi ngurus persiapannya ribet banget!"

"Mau es krim?" Tanya Edward tiba-tiba.Ya ... walaupun pernikahan ini dijalani dengan terpaksa, namun Edward tidak mempunyai alasan untuk tidak bersikap baik pada Nadine. Ia juga tak mau menyakiti gadis itu. Karena Edward tahu, Nadine menyetujui perjodohan mereka demi ibunya. Nadine sudah menceritakan semuanya padanya.

"Boleh."

"Oke, saya beli dulu kalau begitu. Kamu tunggu disini saja." Nadine mengangguk. Ia memilih untuk mengeluarkan ponselnya dan memainkannya

"Ja-jadi kamu yang dijodohin sama Edward?" Belum sempat Edward berdiri dari tempatnya, sebuah suara terdengar menyapa indera pendengarannya. Dan itu adalah suara Acha! Habis sudah. Entahlah, dirinya tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Keinginannya untuk menyembunyikan kenyataan ini sirna. Acha sudah tahu dengan sendirinya. Bahkan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Edward dan Nadine menegang. Mereka refleks menegakkan posisi duduknya. Raut wajah terkejut menghiasi muka mereka bertiga.

"Iya, Cha. Aku yang dijodohkan sama Edward." Itu suara Nadine. Menurutnya, lebih baik Acha tahu sekarang. Lebih baik mengatakan sejujurnya meskipun pahit kan? Sementara Acha, ia terdiam beberapa saat. Bak palu besi, jawaban dari Nadine tadi memukul telak tepat di rongga hatinya. Menyisakan rasa yang amat sakit.

"Nadine!" Desis Edward. Ia sebenarnya tidak bermaksud untuk membentak Nadine, namun ia takut kalau ia tidak sanggup menjelaskan apapun pada Acha yang masih terlihat syok.

Nadine menoleh pada Edward. "Apa? Kamu minta buat nggak ceritain semuanya ke Acha? Iya? Maaf ya, aku nggak bisa. Menurutku, lebih baik Acha tahu dari kita sendiri. Daripada nanti dia tahu dari orang lain."

"Tapi Na ....."

"Benar apa kata Nadine, Edward. Lebih baik, kalian jelaskan semuanya dengan jujur daripada menutupinya. Toh, kalau masih ingin menutupi, suatu hari nanti pasti kebongkar juga. Jadi mending, kalian jelaskan aja sekarang. Saya punya cukup waktu luang untuk mendengarkan kalian kok."

Edward menghela napas. "Baiklah, kalau itu mau kamu. Tapi, sebaiknya kita cari tempat duduk yang agak tertutup, agar tidak mengundang perhatian banyak orang."

"Oke, tapi sebelumnya saya panggil Fina dulu." Acha menjauh beberapa langkah dari Nadine dan Edward. Ia mengeluarkan ponselnya. Menekan ikon telepon pada kontak yang tertera nama Fina.

"Assalamu'alaikum, Fin. Kamu bisa kesini sekarang nggak? Ke dekatnya tukang es krim."

"Wa'alaikumsalam, oh bisa kok bisa. Emangnya kenapa, Cha? Ada masalah?"

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang