Bagian 51

635 55 6
                                    

Happy reading

*****

"Assalamu'alaikum warahmatullah."

"Assalamu'alaikum warahmatullah."

Lelaki itu mengusap mukanya usai mengucap salam, pertanda bahwa shalat yang ia laksanakan sudah selesai. Ia menengadahkan tangannya, hendak melangitkan doa.

Segala yang ada dalam hatinya, ia tumpahkan di atas sajadah cokelat itu. Kegundahannya, kebimbangannya, pokoknya semuanya. Tak ada yang terlewat barang satu hal pun.

"Ya Allah ... hamba percaya, bahwa takdir yang digariskan oleh-Mu adalah yang terbaik bagi hamba. Maka dari itu, tolong lapangkanlah dada hamba, tolong ikhlaskan lah hati hamba untuk menerima apapun yang terjadi ke depannya, Ya Allah. Aamiin."

Rendra mengakhiri doanya. Lelaki berbaju koko warna putih itu melipat sajadahnya. Menaruhnya kembali ke tempat semula. Lantas, ia berjalan menuju jendela. Membukanya, membiarkan angin malam menembus masuk ke kamar bernuansa abu-abu itu.

Hari ini, rembulan terlihat jelas. Bulat sempurna dengan cahaya yang amat terang. Indah sekali, memberi ketenangan jiwa bagi yang melihatnya. Rendra masih memikirkan nasihat Defa tiga hari yang lalu. Nasihat yang menyuruhnya untuk tidak menyerah, namun tetap memberikan Edward kesempatan juga.

Membiarkan Acha yang menjadi penentu semua ini. Membiarkan gadis itu memilih pelabuhan mana yang akan hatinya singgahi untuk seumur hidup. Jujur saja, hanya memikirkan begini, Rendra takut. Ia takut, seandainya nanti hatinya tidak siap dengan semua ini. Tapi, kalau dia berani untuk jatuh cinta, maka dia juga harus berani untuk patah hati.

Dimana ada jatuh cinta, pasti ada kemungkinan untuk patah hati. Entah itu patah hati karena ditolak, atau ditinggalkan selama-lamanya. Dua perasaan itu ibarat kalimat sebab—akibat dalam pelajaran Bahasa Indonesia yang pernah Rendra pelajari. Karena, jatuh cinta dan patah hati saling berkaitan, seperti suatu paket komplit.

Astaghfirullah Hal'adzim. Mengapa dirinya jadi overthinking begini? Sudah cukup dengan cocoklogi dan overthinking nya. Ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan sekarang. Tentunya, Rendra tidak mau membuang waktu. Ia segera mengganti pakaiannya dengan kaos hitam polos, melapisinya dengan jaket jeans biru.

Ia menyambar kunci yang tergeletak di meja. Kemudian segera bergegas turun. Pamit kepada Aira dan Farhan. "Ma, Pa, Rendra keluar sebentar ya? Ada urusan penting."

"Kamu mau kemana, nak? Ini udah malam loh, kamu juga belum makan malam. Ayo, makan malam dulu." Aira menahan putranya. Ia tahu apa yang sedang dihadapi oleh putranya itu. Namun ia memilih diam saja. Ia ingin melihat, bagaimana Rendra menyelesaikan masalahnya yang satu ini. Masalah yang berhubungan dengan hati.

"Maaf, Ma. Tapi ini urusannya penting banget. Nanti kalau Rendra pulang, Rendra janji deh bakal makan. Sekarang, izinin Rendra keluar ya, Ma, Pa? Please."

"Yaudah, kamu boleh pergi." Farhan mengizinkan Rendra untuk pergi. Disambut dengan tatapan horor dari Aira. Farhan mengerti arti dari tatapan itu. Bahwa Aira sedang memberi kode padanya untuk tidak mengizinkan Rendra pergi sebelum makan dulu.

"Nggak papa, Ma. Rendra udah dewasa juga. Dia pasti tahu, apa yang terbaik untuk hidupnya. Biarkan dia pergi, dia bisa makan malam setelah pulang nanti. Gini deh, kalau mama masih belum percaya, biar papa sendiri yang ngawasin Rendra makan malam pas pulang nanti."

"Apa boleh buat." Aira mengendikkan bahunya. "Dua lawan satu begini, ya mama kalah. Okelah, kamu boleh pergi. Dengan syarat, jangan pulang kemalaman, terus langsung makan kalau udah pulang."

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang