Bagian 14

566 37 0
                                    

Happy reading

*****

Waktu terus berjalan. tak terasa, satu minggu berlalu semenjak kabar duka mengenai kepergian Fariz malam itu. Satu minggu pula, Acha berjuang untuk mengikhlaskan kepergian kakeknya.

Memang tidak mudah, apalagi ia sangat menyayangi kakeknya. Tapi ia percaya, ia pasti bisa. Acha juga percaya bahwa ini adalah takdir yang telah digariskan oleh Allah untuk kakeknya. Lagipula, tidak baik untuk meratapi dan terus menangisi kepergian kakeknya. Daripada itu, sekarang Acha lebih memilih mendoakannya saja.

Acha beranjak dari meja riasnya, usai memoles wajahnya dengan sedikit bedak dan membubuhkan sedikit liptint natural agar bibirnya tidak kering. Ia tampak menatap pantulan dirinya di cermin. Memastikan agar tidak ada yang salah dengan penampilannya. Sebab, hari ini adalah hari pertamanya kuliah. Pastinya akan ada banyak orang baru yang belum Acha kenal nanti. Tentu saja, ia ingin memberikan kesan pertama yang baik nantinya.

Ia mengangguk. Lengkungan bulan sabit kembali terukir manis di wajahnya. Binar semangat baru pun terpancar dari netranya yang teduh. Sepertinya, ia puas dengan penampilannya kali ini. Baiklah, saatnya turun ke bawah. Sebelumnya, Acha menyambar tas yang ada di atas meja.

"Selamat pagi, Kak Novi, Kak Arka!, teriak Acha menggelegar. Novi dan Arka sampai geleng-geleng kepala dibuatnya.

Ia menarik salah satu kursi di ruang makan. Menaruh tasnya disana kemudian menghampiri Novi yang tengah serius memasak. "Kak Novi, ada yang bisa Acha bantu?"

"Oh, tolong bantu bawain sayur, nasi, sama sambalnya ke meja makan ya Cha. Ini lauknya sebentar lagi juga matang kok."

"Siap kak!" Acha mengangkat bakul nasi ke meja makan terlebih dahulu. Baru setelahnya, satu mangkuk besar sayur sup yang segar dan masih panas ia bawa ke meja makan. Aromanya sangat lezat, sungguh menggugah selera. Arka saja yang tadinya sibuk dengan ponselnya langsung menaruhnya dan melihat menu sarapan hari ini.

"Wah, kayaknya enak nih! Nasi hangat dipaduin sama sayur sup segar. Belum lagi lauk sama sambalnya terus ditambah kerupuk! Jadi tambah lapar aja." Arka menatap miris perutnya yang sudah orasi minta diisi.

"Ya sabar atuh kak, sebentar lagi lauknya matang kok," sahut Acha seraya meletakkan piring kecil berisi sambal.

Tak lama kemudian, aroma yang tak kalah sedap seolah menghampiri Arka dan Acha di meja makan. Novi berjalan menuju mereka, tentunya sambil membawa satu piring ayam yang telah diungkep dengan bumbu dan digoreng hingga garing. Menambah nyaring bunyi perut mereka.

"Nih, sudah matang semua. Ayo, yang lapar cepetan makan. Kamu juga dek, kan mau berangkat kuliah. Baiknya sarapan dulu, biar nggak kena maag nanti."

Acha terkekeh. "Kalau itu sih, nggak usah disuruh juga Acha mau kak kalau makan masakan kakak yang the best ini! Jempol delapan deh pokoknya buat Kak Novi!"

"Kamu nih dek, ada-ada aja. Mana ada manusia yang punya jempol delapan?"

"Eitss, ada dong kak. Biar Acha jelasin. Dua jempol tangan sama kaki Acha kan jumlahnya udah empat tuh. Nah, ditambah empat lagi punya Kak Arka. Jadi berapa? Delapan kan?," balas Acha tak mau kalah.

Arka merotasi bola matanya malas. "Iyain aja deh biar cepat. Udah yuk makan, nanti kamu telat loh dek kuliahnya." Melihat Acha yang cemberut, sontak tawa Arka dan Novi pecah di udara. Lucu sekali ternyata menggoda Acha. Sedetik kemudian, Acha pun ikut tertawa bersama mereka. Ah, memang benar ya. Bahagia itu bisa didapat dari hal sederhana seperti ini.

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang