Bagian 13

546 41 3
                                    

Happy reading

*****

Dewi malam sudah berada di singgasana nya tatkala Arka, Acha, dan Novi sampai di Sydney. Arka mengeluarkan kunci rumahnya dari saku, lantas membuka pintunya. Saat ini, ia hanya ingin bertemu dengan pulau kapuk yang ada di kamarnya. Beristirahat sejenak agar besoknya tidak terlambat shalat subuh dan pergi ke cafe. Untuk Acha juga sama, ia ingin mandi dan istirahat. Soal mengisi perut, tadi sebelum ke rumah mereka sempat mampir ke restoran dekat bandara. Jadi, masih aman.

Acha masuk ke ruang tamu, diikuti kedua kakaknya. Karena keadaan ruang tamu yang masih gelap, Acha meraba-raba dinding, mencoba mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, terlihat seluruh detail ruangan itu. Dari mulai furniture, hingga dindingnya yang berwarna biru. Acha merebahkan dirinya di sofa. Merogoh-rogoh sling bag nya guna mencari ponsel. Barangkali, ada kabar dari Maudy mengenai Fariz.

Ketemu! Ia menyalakan ponsel bercasing baby blue itu. Begitu nyala, lima puluh missed call dari Maudy tertera di layar ponselnya. Kening Acha berkerut, bertanya-tanya ada apa gerangan hingga bundanya menelpon dirinya puluhan kali seperti ini. Sudahlah, Acha akan mencoba menelpon balik bundanya. Ia berdiri, mondar-mandir sambil menunggu bundanya mengangkat telepon.

Akhirnya, Maudy mengangkatnya. "Assalamualaikum bunda. Ini Acha, kita udah sampai ke Sydney. Bunda kenapa ya kok missed call sampai banyak gitu?"

Ponsel yang digenggamnya meluncur bebas mencium lantai begitu mendengar informasi dari bundanya. Acha langsung terduduk lemas. Keadaannya sama dengan ponselnya saat ini. Tak bisa dicegah, air matanya mengalir deras. Hatinya porak poranda laksana bangunan sehabis dilanda badai. Panggilan dari Maudy tak ia hiraukan. Acha terlalu terkejut, ia shock berat.

"Innalilahi wa innailaihi raji'un...." Lirihnya sambil terisak-isak. Arka yang baru saja dari kamar mandi dan Novi yang baru saja mengambil minum dari dapur sontak berlarian ke arah Acha.

"Cha, kenapa? Ada apa sama kamu dek?!" Novi mengguncang tubuh Acha. Nihil, tak ada reaksi sama sekali. Tatapan matanya kosong, namun ia terus menangis. Arka mendapati ponsel Acha menyala. Ia mengambilnya. Terlihat, bahwa panggilan dari bundanya sedang berlangsung.

"Bunda, ini Arka. Ada apa bunda? Kenapa kok Acha sampai nangis kejer gini?"

Dari seberang sana, Maudy juga terdengar terisak. Sebenarnya ada apa ini? Tolong beritahu Arka sekarang juga! "Arka ... kakekmu meninggal nak."

"Innalilahi wa innailaihi raji'un." Arka mengusap wajahnya kasar. Ia sama terkejutnya dengan Acha.

"Kenapa bunda? Bukannya kakek tadi udah baikan? Bahkan, tadi kakek ngobrol panjang lebar sama kita bunda!"

"Tenang dulu nak. Tenang. Ini semua sudah takdir Allah, kita sebagai manusia harus bisa ikhlas menerimanya ya?" Arka mengangguk pelan, meski anggukannya tak dapat dilihat oleh Maudy.

"Setelah kalian berangkat tadi, kakek tiba-tiba kritis lagi. Detak jantungnya nggak stabil. Kadang lambat, kadang cepat. Dan pada akhirnya ... kakekmu menghembuskan napas terakhirnya. Maaf nak, bunda gagal menyelamatkan kakek kalian. Bunda sama tim dokter lainnya sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi Allah punya rencana yang lebih indah untuk kakek kalian."

Arka terdiam sejenak. Berusaha mencerna apa yang disampaikan bundanya. Sungguh, ini adalah pukulan berat bagi keluarganya. Terutama bagi adiknya. Arka masih melihat Acha yang membeku di tempatnya dan Novi yang masih berusaha mengguncangkan tubuh adiknya. Arka menutup telepon usai mengucap salam.

Atensinya beralih ke adiknya. Ia menghampiri Acha. Namun sebelumnya, ia memberitahu Novi dulu tentang berita buruk ini. Pertama kali mendengar berita itu, reaksinya persis seperti Acha. Namun lambat laun, Novi tenang kembali. Arka lega, ia kira Novi akan termenung seperti Acha.

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang