Bagian 52

1.1K 55 9
                                        

Happy reading

*****

Dibantu dengan tongkat kruk, Acha berjalan tertatih menuju rumahnya. Ia diapit oleh Maudy dan Revan yang selalu sigap menuntunnya. Hari ini, ia baru saja pulang dari kontrol di rumah sakit. Alhamdulillah, kondisinya sudah mulai membaik.

"Hati-hati, sayang jalannya. Nanti jatuh. Itu tuh, awas ada kerikil tuh! Ntar kesandung kamu." Revan berjongkok di depan Acha. Menyingkirkan sekumpulan kerikil kecil yang tergeletak manis di tanah.

Baik Acha dan Maudy sama-sama merotasi bola matanya. Semenjak Acha kecelakaan untuk kedua kalinya, Revan berubah menjadi lebih protektif. Contohnya ya ini. Padahal, hanya ada beberapa kerikil berukuran kecil di depan Acha, namun Revan sudah bersikap heboh begini.

"Nah, udah. Kamu boleh jalan lagi sekarang." Revan menepuk-nepuk tangannya yang sedikit terkena tanah. Sungguh, ia tidak ingin putrinya kenapa-napa lagi. Revan tidak kuat, lebih tepatnya jantungnya yang tidak kuat. Untung saja kemarin dia tidak sampai terkena mental break dance saat mendengar Acha kecelakaan.

"Oh iya, Cha." Atensi Revan mengarah sepenuhnya ke Acha. "Ayah masih penasaran, deh. Kenapa kamu milih buat dorong Edward dan menyelamatkannya? Bahkan sampai rela mengorbankan diri kamu sendiri. Is there any special relationship between you and him, hm?"

Acha tergelak mendengar pertanyaan frontal itu dari ayahnya. Tentu, ia tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ia sangat tahu malah. Karena diam-diam, jawaban itu ada di dalam hatinya. Hanya saja, ia tidak bisa mengutarakannya.

"Emm ... ayah, Acha ngantuk. Mau masuk kamar dulu ya." Acha menggigit bibir bawahnya. Berharap bahwa Revan tidak menyadari kalau dirinya berusaha mengalihkan pembicaraan.

Revan mengangguk. "Yaudah, kalau kamu ngantuk tidur aja dulu. Istirahat yang banyak, biar cepat sembuh. Ingat kata dokter tadi, kamu belum boleh banyak gerak sama melakukan aktivitas berat. Understand?"

"Ya, ayah." Acha melangkah masuk. Sungguh, ia merindukan rumah ini. Berada beberapa hari di rumah sakit amat membosankan baginya. Terlebih lagi, dulu ia juga pernah menginap di rumah sakit. Sehari-hari hanya ia habiskan di kamar, kalau tidak ya di taman. Maka dari itu, saat merasa lebih baik, Acha langsung merengek pada Maudy, meminta dirawat jalan saja.

Bak gayung bersambut, permintaan Acha dikabulkan oleh Dokter Rizwan, selaku dokter yang menanganinya. Dokter Rizwan menilai bahwa progres kesembuhan Acha cukup baik, jadi dia diizinkan untuk rawat jalan, dengan syarat tidak boleh melakukan aktivitas berat sebelum Acha bisa berjalan tanpa kruk dan keadaan bahunya memungkinkan.

"Istirahat ya, sayang. Nanti kalau perlu apa-apa, panggil bunda aja. Bunda sama ayah ada di ruang tengah." Maudy menarik selimut sampai ke pundak Acha, maklumlah, Acha baru saja sembuh dari sakitnya. Itupun belum sembuh total.

"Iya, Bunda, makasih. Maaf ya, bunda. Selama ini ... Acha sering banget ngerepotin ayah sama bunda. Bahkan ... rasanya Acha belum bisa ngebahagiakan ayah dan bunda."

Acha menatap sendu bundanya. Ia menangkap gurat kelelahan pada wajah bundanya. Ah, itu pasti karena bundanya lelah mengurusnya di rumah sakit.

Maudy yang semula berdiri, kembali duduk di tepi ranjang. Mengusap pelan kepala putrinya itu.

"Hei, kata siapa kamu belum bisa membahagiakan ayah dan bunda, hm? Asal kamu tahu, Cha, kehadiran kamu dan Arka dalam hidup kami berdua itu adalah suatu bentuk kebahagiaan tersendiri bagi bunda dan ayah."

"Kalian berdua menjadikan hidup bunda dan ayah lebih berwarna. Kalian berdua membuat kami merasakan sekaligus belajar bagaimana cara menjadi orang tua yang baik untuk pertama kalinya. Pokoknya, kalian berdua itu adalah anugerah terindah yang dikirim Allah buat ayah dan bunda. Jadi, kamu nggak boleh ngomong seperti itu lagi ya, sayang?"

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang