Bagian 43

585 49 8
                                        

Happy reading

*****

Kepulan asap menyeruak keluar tatkala Acha menuangkan air panas ke dalam cangkir di depannya. Aroma harum dari cokelat bubuk yang baru saja diseduh menimbulkan efek menenangkan bagi dirinya. Sudah pukul dua belas malam, namun Acha tak kunjung mengantuk. Lamaran yang  datang padanya beberapa jam yang lalu menjadi salah satu penyebabnya.

Entahlah, Acha sendiri juga bingung harus bereaksi apa dengan lamaran dari Rendra. Selama ini, dirinya selalu menganggap Rendra seperti Arka. Sama-sama kakak laki-lakinya. Ia bahkan tidak pernah punya pikiran barang sedikitpun kalau Rendra akan melamarnya.

Ya Allah ... gimana ini? Aku harus jawab apa tentang lamarannya Kak Rendra?

Acha memijit kepalanya yang terasa pening. Berbagai pertanyaan yang entah darimana asalnya memenuhi kepalanya begitu saja. Apakah ia siap untuk membuka hatinya lagi? Apakah ia siap untuk menikah di usia ini? Dan yang terpenting ... apakah dia menyimpan rasa untuk Rendra?

Huft ... dirinya sendiri tidak memilik jawaban untuk semua pertanyaan itu. Acha membuka ponselnya. Menghubungkannya dengan earphone dan menyumpalkannya ke telinga. Hal kedua yang bisa menenangkan setelah cokelat panas adalah mendengarkan murottal Al-Qur'an yang ada di ponselnya.

Memang, ia lebih memilih untuk mengisi playlist musik di ponselnya dengan murottal seratus empat belas surah dalam Al-Qur'an beserta artinya. Menurutnya, itu lebih bisa menenangkan hatinya. Ditambah lagi, ia bisa mendapatkan pahala saat mendengarkannya.

Ia memencet ikon play yang tertera pada Surah Ar-Rahman. Surah favoritnya sekaligus Surah yang mengantarnya bertemu dengan Edward. Eh, tunggu dulu!

Mengapa pikirannya yang absurd ini malah melayang ke Edward? Tidak tidak. Acha sudah semakin ngawur saja hari ini. Lebih baik, ia segera menghentikannya. Ya, itu yang terbaik.

Baru saja dia tenggelam dan menghayati murottal Al-Qur'an yang didengarnya, tiba-tiba suaranya berhenti. Hmm ... rasanya tidak mungkin kalau ponselnya mati. Karena ia sudah mengisi daya ponselnya hingga penuh tadi.

"Acha, kenapa belum tidur, hm? Ini udah tengah malam loh, nak. Katanya, besok ada tamu penting dari Swiss." Suara itu membuatnya melepas earphone. Menoleh ke samping, lalu mendapati Maudy yang sedang mengaduk-aduk cangkir berisi cokelat panas miliknya. Lah, sejak kapan cokelat itu berpindah tempat?

"Iya, Bun. Belum, Acha belum bisa tidur, bunda," jawab Acha apa adanya. Memang, meskipun ia sudah berusaha tidur, tetap saja tidak bisa. Jadi, dia memutuskan untuk membuat cokelat hangat. Barangkali, usai meminum cokelat itu, ia bisa tidur.

"Biar bunda tebak." Maudy memperlihatkan pose seperti orang berpikir. Jari telunjuknya ia tempelkan ke dagu. Menimbulkan kekehan dari bibir Acha. "Kamu nggak bisa tidur gara-gara mikirin lamaran dari Rendra kan?"

Skakmat! Benar sekali tebakan bundanya itu. Menohok dan mengena tepat di hati. "Eh, bunda tahu? Iya nih. Acha ... lagi mikirin itu, Bun.

"Oke, boleh bunda tanya sesuatu ke kamu?" Maudy menyodorkan cokelat panas milik Acha. Sebenarnya, dari Acha membuka ponsel, Maudy sudah mengamati tingkah laku putrinya.

"Boleh, Bun. Tanya aja, Acha bakal jawab kalau tahu jawabannya."

"Hmm ... Cha? Apa ... kamu masih menyimpan rasa buat Edward? Sedikit aja, masih ada nggak?" tanya Maudy tiba-tiba.

Acha tersenyum tipis. Namun sedetik kemudian, ia menggeleng. Lagi, sudah dua kali dia tidak bisa menjawab pertanyaan yang harusnya sederhana. Hanya iya atau tidak serta hanya ada atau tidak. Tapi, ia tidak mampu mengatakannya.

Takdir Cinta Acha ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang