63. EVEN MONSTERS ARE HUMAN

2.6K 429 14
                                    

Kubantu Sera untuk berjalan menuju pintu keluar, di mana yang lainnya telah menunggu kami. Sebelum itu, dia telah membukakan pintu untuk Xander yang ternyata telah menunggu di permukaan sejak tadi.

Saat dia sampai, yang diperhatikannya pertama kali adalah Sera, tangannya penuh dengan darah segar. "Apa yang terjadi?" tanyanya.

"Aku baik-baik saja," ujar Sera.

Aku baru menyadari bahwa Xander membawa seseorang saat pria itu mulai berbicara. "Biar aku perbaiki," katanya.

Sera kemudian menyodorkan tangannya pada pria itu. Kuperhatikan setiap gerakannya, dia menutupi luka Sera dengan telapak tangannya dan sinar cahaya memenuhinya. Seketika, luka itu telah tertutup dan seolah tidak pernah ada luka sebelumnya. Persis seperti yang dilakukan Lucifer waktu itu padaku.

Pria itu kemudian tersenyum dan matanya mulai menjelajah untuk melihat semua orang, sampai pada Jo yang memberikan tatapan canggung padanya.

"Icarus," sapanya, seolah mereka adalah sepasang mantan kekasih yang sudah lama tidak berjumpa.

"Joanna," sapanya balik.

Untuk pertama kalinya, aku mendengar seseorang menyebutkan nama depan Jo dengan lengkap.

"Bisakah kau sembuhkan adikku juga?" tanya Sebastian yang masih menopang Max dibantu oleh Jo.

Pria bernama Icarus itu mengangguk dan melakukan hal yang sama pada Max, dia menyembuhkan semua lukanya. "Oh, dan kau juga," ujarnya saat melihat bahuku yang terbuka dan dipenuhi darah.

Kubiarkan dia menyentuh pundakku, rasa perih membanjiri setiap kulit yang terbuka seperti luka yang disirami alkohol. Lama-kelamaan, rasa sakit itu berangsur-angsur menghilang. Namun, bukannya melepaskan tangannya dariku, sentuhan Icarus di bahu malah mengencang.

Dia diam sesaat untuk waktu yang cukup lama. Hingga Max yang telah kembali dari kesadarannya membuat Icarus tersadar. "Oh, kau lagi? Siapa yang memanggil Icarus? Perhatian Jo nanti jadi teralihkan dariku," katanya.

"Kau nephilim," gumam Icarus, bersamaan dengan itu, keheningan menyelimuti kami semua.

Pasalnya, baru Sera dan Xander yang mengetahui mengenai hal ini. Bukan berarti aku tidak akan mengatakannya pada Max dan Sebastian, hanya saja aku belum siap pada kenyataan bahwa aku adalah anak Lucifer. Aku takut akan reaksi keduanya jika mereka mengetahui hal itu dan sekarang semuanya telah terungkap.

Kulirik Sebastian yang memberikan tatapan yang tidak bisa aku baca. Sedangkan Max, bersiap untuk membuka mulutnya.

"Lelucon yang bagus, Icarus! Sayangnya, Venus adalah saudaraku, jadi lelucon itu tidak berlaku untukku dan Sebastian," candanya.

Mata Icarus masih memandangku. "Memang tidak, Maximus," gumamnya.

Oke, saat ini aku sangat ingin tertawa, namun dalam situasi seperti ini, benar-benar tidak tepat. Bagaimana tidak, selama hidupku mengenal Max sejak kecil, aku bahkan tidak pernah tahu bahwa Max itu panggilan dari Maximus. Lebih terdengar seperti sebuah nama hewan piaran.

"Hey! Aku sudah menyembunyikan nama itu cukup baik dari semua orang, kecuali Sebastian. Sekarang kau malah mengumbarnya." Max melototkan matanya pada Icarus. Dia baru saja akan mengoceh lagi saat Sebastian membungkamnya.

"Max! Ini bukan saatnya untuk bercanda!" Sebastian menegaskan suaranya. "Apa yang kau tahu?" Kali ini matanya tertuju pada Icarus.

Icarus yang masih memandangiku, seolah meminta persetujuan untuk menjelaskan apa yang baru saja dia ketahui. "Dari yang kurasakan, darah yang mengalir itu bukan berasal dari malaikat biasa."

"Maksudmu?" Sebastian masih memandangi Icarus dengan serius.

"Darah seorang Archangel mengalir di nadinya," tambah Icarus.

Kini, Sebastian menoleh padaku. Matanya meminta jawaban dan penjelasan atas apa yang baru saja dia dengar. Aku sudah sangat hafal dengan sikapnya, namun untuk kali pertama aku tidak pernah melihatnya memandangiku dengan tatapannya sekarang.

Tidak bisa berkata apa-apa, aku berjalan masuk menuju tempat di mana para Titan seharusnya terkurung. Ruangan itu begitu sepi dan hampa. Seperti perasaanku saat ini, begitu kosong dan penuh kebingungan.

Tidak lama setelah itu, Max menyusulku. Dia bersandar pada dindin batu di belakangnya. Wajahnya lebih serius sejak Sebastian memarahinya. "Jika kau memikirkan apa yang aku pikirkan, sebaiknya jangan," katanya.

"Aku tidak bisa," sontakku. "Kalian satu-satunya keluarga yang mengenalku."

"Tepat sekali," ujarnya cepat. "Aku dan Sebastian mengenalmu lebih dari siapa pun. Karena itu jangan sekali pun berpikiran bahwa kata-kata Icarus tadi bisa mengubah perasaanku padamu."

"Aku meragukan hal itu jika kau tahu siapa ayahku." Kutatap mata Max lekat-lekat. "Lucifer, dia ayahku."

Max sama sekali tidak bereaksi saat aku mengucapkan namanya. Dia bahkan tidak berkedip. Sesaat, aku berpikir bahwa Max akan pergi meninggalkanku, namun dia malah mendekat dan memelukku. "Begitu banyak beban yang kau tanggung, tapi bukan berarti kau dapat menyembunyikannya."

"Terima kasih, Max." Kulepaskan peluknya yang begitu hangat. "Aku berharap Sebastian sepertimu."

"Dia juga pasti merasakan yang sama," jelas Max, membela kakaknya.

Aku tersenyum masam. "Aku harap begitu, tapi tatapannya mengatakan hal lain."

Ada jeda yang begitu lama di antara kami, sampai Sebastian muncul dan mengisi kekosongan yang begitu menyesakkan. "Tatapanku mengartikan bahwa kau seharusnya mengatakan hal sebesar itu pada kami. Aku benci saat orang lain yang harus mengatakan hal itu lebih dulu padaku ketimbang dirimu."

"Aku juga baru tahu mengenai hal itu saat aku berusaha menyelamatkan ayahku di neraka. Aku berniat memberi tahu kalian nantinya." Tiba-tiba saja, suaku meninggi.

"Kapan? Kapan kau akan memberitahu kami? Kenapa kau tidak langsung memberitahuku? Apa yang kau tunggu? Apa yang kau takutkan?" Begitu banyak pertanyaan yang mendesakku dari Sebastian.

Aku bergeming. Tidak pernah menyangka aku akan mengatakan hal ini. "Aku takut kalian menganggapku monster."

Ekspresi Max dan Sebastian berubah seketika. Sebuah ekspresi tidak percaya yang penuh dengan kekecewaan.

"Kau pikir kami menganggapmu seperti itu?" Sebastian terkekeh tidak percaya. Dia kemudian mengalihkan wajahnya.

"Oh, Venus. Kami mengenalmu dengan sangat baik. Kau pikir kami membunuh para makhluk itu karena apa? Karena mereka membuat kekacauan, karena mereka membunuh yang tidak bersalah. Dan dirimu, kau memperjuangkan hal itu. Bukan berarti menjadi anak Lucifer, menjadikanmu seorang monster dan kau tahu itu lebih dari siapa pun."

Aku memang lebih tahu hal itu dari siapa pun. Selama ini, akulah yang paling dekat dengan Lucifer. Dan aku tahu betul bahwa Lucifer tidak seperti yang orang pikir. Walaupun kadang, perasaan jahat suka mendominasi dalam dirinya. Seperti pepatah mengatakan, bahkan monster adalah manusia.

Sebuah senyuman mengambang di bibirku. Aku tahu mereka lebih baik dari yang kupikirkan. Mereka adalah keluargaku, seharusnya aku tidak meragukannya. Bahkan kami rela menjual jiwa masing-masing untuk siapa pun di antara kami.

"Bolehkan aku minta pelukan?" tanyaku akhirnya.

Max tersenyum sambil memberikan tatapan yang sudah kembali seperti biasanya. "Ini yang kutunggu. Oh, maaf Sebastian, aku tahu kau tidak suka berpelukan, tapi aku memaksa," katanya sambil menarik lengan kakaknya dan berakhir dengan berpelukan padaku.

"Aku rindu saat-saat seperti ini," gumamku sambil membenamkan wajah pada tubuh kedua lelaki yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.

Di saat kami sedang melepas rasa kerinduan, Jo muncul dan mengintrupsi. "Maaf, guys, tapi berpelukannya bisa kalian lakukan setelah kita menyelesaikan rencana untuk mengembalikan para Titan ke Tartaros."

"Bisakah kau menunggu satu menit saja?" tanyaku memohon.

"30 detik dan kami menunggu kalian di depan." Jo kemudian meninggalkan kami.

"Ayo, jangan sia-siakan 30 detik ini," ujar Max yang tersenyum lebar.

Lucifer The LightbringerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang