VENUS'S POV
Kunjungan Lucifer beberapa saat lalu membuatku berpikir lagi apakah kata-kataku padanya terlalu keras. Maksudku, aku tidak seharusnya mengatakan bahwa dia pantas dikirimkan ke neraka. Tidak ada yang pantas tinggal di neraka. Bahkan Lucifer.
Tapi, aku terlanjur marah padanya karena selalu menganggap manusia lemah. Aku tahu dia memang berpikir seperti itu sejak pertama kami di ciptakan. Aku tahu dia diusir dari Surga karena manusia. Tapi apakah dia pantas untuk dikirimkan ke Neraka?
Mengingat pertengkaranku tadi membuatku pusing saja. Setelah Jazmyne yang harus aku urus, bertambah lagi pikiran di kepalaku. Benar-benar membuatku sakit kepala.
Tadi, aku menidurkan Jazmyne di ruangan saat aku masih bayi dulu. Untung, Ibu tidak membuang semua peralatan bayi yang aku miliki dulu. Tempat tidur yang terbuat dari kayu, serta mainan-mainan yang menggantung di atasnya, semuanya masih lengkap.
Aku tidak pernah menggunakannya lagi dan tidak pernah membuka ruangan itu. Kadang, hanya aku buka saat bersih-bersih saja.
Mungkin saat Ibu kesepian, dia akan duduk di kursi goyangnya dan memimpikan putrinya yang sekarang sudah tumbuh besar. Mengingat hal itu lagi, membuatku ingin menangis. Aku akan membayar mahal untuk bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Ibuku. Sekarang, aku benar-benar menyesal.
Suara pintu yang sontak terbuka membuatku bersiaga. Aku mengambil pistol dari tempatku menyembunyikannya dan berlari menuju ruang tengah. Saat aku melirik pintu depan, aku melihat Sebastian yang terkapar di lantai. Sontak, aku berlari ke arahnya dan meletakkan pistol di atas lemari.
"Sebastian! Apa yang terjadi?" tanyaku.Sebastian terengah-engah. Pakaiannya kotor dari atas sampai bawah. Dahinya tercoreng oleh darah dan lebam di mana-mana. Tangannya penuh dengan darah juga.
Aku membantunya berdiri dan menopangnya hingga ke sofa. Kemdian meninggalkanya menuju dapur untuk mengambilkan air putih. Setelah memberikan air putih padanya dan Sebastian meneguknya, dia akhirnya mulai bicara.
"Kami diserang para Vampir. Mereka terlalu banyak dan kami kalah jumlah. Dan—" dia berhenti.
Aku menunggu Sebastian menyelesaikan kalimatnya. Butuh beberapa saat untuknya mengucapkan kalimat terakhirnya itu, seolah Sebastian sangat berat mengatakannya.
"Mereka membunuh Max. Aku tidak dapat mengambil mayatnya." Ada nada penyesalan yang sangat mendalam. "Ini semua karenaku. Aku harus kembali. Aku tidak bisa membiarkannya di sana. Aku tidak bisa—" Sebatian baru saja akan bangkit saat aku menahannya untuk tetap duduk.
Jantungku seolah ditarik saat mendengar kabar mengenai Max. Tapi aku berusaha menahanya. "Kita akan kembali, tapi kau butuh obat untuk lukamu dulu. Dan kita butuh bantuan," kataku.
Sebastian diam sesaat. Dia menangis, tanpa suara. Hanya air mata yang keluar membasahi pelipis di bawah matanya dan ekspresi kesedihan yang sangat kentata. Membuat Sebastian seperti sebuah gelas yang sangat kuat, sekaligus rapuh.
Aku berusaha menenangkanya karena memang harus ada yang seperti itu sekarang. Kemudian dia mengambil telepon genggamnya dari saku celana. "Aku akan menelepon seseorang untuk meminta bantuan," katanya sambil mengusap air mata dari pipinya.
Aku mengangguk. Kemudian pergi menuju kamar mandi untuk mengambil obat dan peralatan untuk luka Sebastian.
Di dalam kamar mandi, aku menutup pintunya. Menyalakan airnya tetap terbuka dan mulai menangis. Tidak mungkin Max mati. Maksudku, baru hari ini aku membuatkan sarapan pagi untuknya. Baru pagi ini aku mendengar ocehan leluconnya.
Aku menahan suaraku tetap diam. Kemudian mulai teringat mengenai Camael. Apakah dia yang melakukan hal ini? Apakah Camael bermain-main dengan takdirku lagi? Apakah ini lelucon?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucifer The Lightbringer
FantasySpin-off Seraphim and the Nephalem "I'm Lucifer, The Lord of Hell." "I know." Venus Morningstar tidak mengira akan bertemu dengan pria bernama Lucifer. Bahkan pria itu tidak memiliki nama belakang. Venus mengira, dia adalah pria setengah gila yang p...