15. HIGHWAY TO HELL

15.4K 1.8K 20
                                    

"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanyaku sambil mengikat rambut dengan sebuah tali kecil yang aku temukan di tanah.

"Jiwa-jiwa ini terperangkap di sini sampai mereka menemukan jalan keluar. Satu-satunya hal yang membuat mereka terperangkap adalah ingatan mereka sendiri. Jika kau bisa melakukan sesuatu yang membuat temanmu mengingatnya, kita bisa memukannya." Xander berjalan di depanku dengan tas persenjataanku yang di bawanya.

Aku berpikir. Mengingat-ingat hal yang dapat membuat Max teringat kembali. Kemudian, aku mengingat sesuatu. "Max berulang tahun tepat pada 25 Desember. Aku tahu hal yang dapat membuatnya mengingat sesuatu."

Saat aku berumur lima tahun, Max dan Sebastian sering menginap di rumahku. Orang tua mereka tentu saja sedang berburu, karena itu mereka menitipkannya pada keluargaku. Tepat pada malam natal, Ayahku berburu bersama Sebastian yang memohon untuk ikut bersamanya. Sedangkan Max, masih belum cukup umur untuk ikut berburu. Jadi, dia menghabiskan waktu bersamaku di rumah.

Kami biasanya akan duduk di depan perapian. Ibu selalu menyiapkan cokelat hangat dengan wafle, bedanya, wafle untuk Max ditaburi keju. Benar-benar makanan kesukaannya. Kami bermain adu kekuatan, dan siapapun yang kalah harus memberikan separuh waflenya. Setelah itu, semuanya seperti tradisi. Max selalu berkunjung ke rumahku setiap malam natal. Kami menyebutnya, perayaan ulang tahun bersama Santa Claus. Walaupun kami sudah tahu, Santa Claus tidak benar-benar ada saat itu.

Max masih terus melakukan tradisi itu bersamaku hingga kami tumbuh besar. Bahkan, dia sengaja tidak berburu saat hari ulang tahunnya hanya untuk bersamaku. Kemudian semuanya berubah. Kami tidak pernah merayakan ulang tahun Max lagi. Max dan Sebastian juga tidak pernah menginap lagi, hanya datang berkunjung sewaktu-waktu. Semua itu berawal sejak ibuku meninggal. Padahal seharusnya, mereka lebih sering menginap dan menghiburku. Tapi setiap malam aku hanya bisa menangisi semuanya.

"Venus!" Xander memanggilku dengan suaranya yang berat.

"Maaf, aku hanya teringat sesuatu." Aku menoleh ke sekitar. "Bantu aku membuat api unggun, kita akan membuat Max mengingatnya."

Xander dan aku menelusuri hutan untuk mencari kayu bakar. Xander bersikeras agar aku tidak jauh-jauh darinya. Keras kepalanya benar-benar seperti Lucifer. Aku jadi bertanya-tanya, apakah Xander mengenal Lucifer? Dan bagaimana dia bisa mengenal Jo dan Sebastian? Di tambah lagi, wanita yang Xander cintai, pastinya adalah wanita yang Sebastian sukai. Semakin menarik saja.

"Omong-omong," kataku akhirnya. "Siapa wanita itu?" tanyaku.

Xander awalnya tidak mau membicarakannya, tapi aku terus mendesaknya. "Seraphina, dia yang membuatku menjadi diriku sendiri dan percaya bahwa kebaikan ada dalam diriku."

Aku mengangguk-angguk. Mungkin, Xander memang mirip dengan Lucifer. Hanya saja, Xander memiliki seseorang yang percaya padanya bahwa masih ada sedikit kebaikan dalam dirinya. Tapi apakah aku juga bisa mempercayai Lucifer bahwa masih ada sedikit kebaikan dalam dirinya?

"Hey, apakah kau tahu Lucifer?" tanyaku yang semakin penasaran apakah dia mengenal Lucifer dengan cukup baik.

"Tidak juga," jawabnya. "Aku pernah bertemu sekali saat di neraka. Dan pernah bertemu sekali lagi di sini. Sekarang, aku tidak tahu dia berada di mana."

"Oh, aku pikir kau mengenalnya."

"Ayahku dulu adalah demon terpercayanya. Tapi sekarang dia sudah tidak ada."

Aku tidak mengatakan apa-apa. Maksudku, aku tidak tahu harus mengatakan simpati atau senang. Ayahnya seorang demon dan aku tidak mengasihani demon. Tapi melihat Xander, jelas bahwa sifat demon-nya masih terlihat. Namun, dia tidak menggunakannya untuk suatu hal yang salah.

Lucifer The LightbringerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang