Kepala cewek itu refleks menggeleng kecil, ia menghela nafasnya singkat kemudian mengambil tip-x dan memperbaiki tulisannya yang salah. Tapi seberapa keras ia mencoba menghapus ingatan tersebut, ingatan itu kembali muncul seolah tak mengizinkan dirinya untuk memikirkan hal lain, selain kejadian tadi siang di koridor sekolah.
"kata Geva dia ngajak lo balikan lagi."
Lebih diperburuk lagi oleh temannya yang baru saja datang dan langsung menanyainya. Bagaimana Raline bisa melupakan kejadian tersebut jika terus diingatkan.
"beneran, Lin?" tanya Unna.
"hmm.." Raline mengangguk kecil, "gue tolak." sambungnya dengan mata dan tangan yang masih fokus mencatat ulang.
"gila emang," Gumam Unna sambil menggeleng kecil.
Tak lama kemudian guru les masuk ke ruangan, baru sebentar kegiatan belajar berlangsung namun HP Raline yang sengaja ditaruhnya di kotak pensilnya yang terbuat dari kain bergetar kecil, menandakan jika ada sebuah pesan masuk.
G. : gue jemput pulang les ya?
G. : sekalian jalan-jalan
Raline : gak usah.
Raline : gue bisa pulang sendiri.
***
"gue pulang duluan ya, udah di jemput Bagas, byee!!!" Pamit Unna ketika kegiatan les malam ini selesai.
Raline hanya menjawab dengan melemparkan senyum kecilnya, ia menenteng tas kecilnya di pundak dan mendekap buku paket dan tulisnya sementara tangan kanannya sibuk memesan gojek agar ia bisa pulang.
"pulang bareng gue aja."
Cewek itu menoleh ke samping, menemukan seorang cowok berkemeja biru dongker dan celana jeans berdiri tepat di sebelahnya.
"enggak usah, kak," tolaknya sopan.
"kenapa? Takut pacar lo marah ya?"
Sunggu pertanyaan yang sangat tak berguna untuk dilontarkan. Pertanyaan retoris jika seorang cewek menolak ajakan si cowok.
"enggak—"
"Raline!"
Fokus keduanya terpecah begitu nama Raline diserukan. Cewek itu sudah menduga, Geva kini tengah berlari ke arahnya dengan cepat jangan lupakan senyum penuh semangat di wajahnya itu.
"ayo pulang!"
"siapa, Lin?" tanya Evan, cowok yang mengajaknya pulang tadi, sekaligus guru ditempat les Raline.
"dia tem—"
"gue calon pacar, Raline." Sela Geva lebih dulu. Cowok itu tersenyum culas.
Raline sampai kehabisan kata-kata mendengar ucapan Geva barusan, cewek itu menatapnya tajam sementara yang ditatap malah tersenyum begitu cerah. Tak ingin semakin memperpanjang percakapan, Raline pun memilih untuk berjalan terlebih dahulu setelah berpamitan singkat dengan Evan.
Geva yang melihat cewek itu berjalan mendahuluinya tak mau tinggal diam, ia lalu menyusul Raline dan menarik tangan cewek itu agar menuju ke motornya.
"itu Evan itu ya? Yang kata Unna guru les yang suka sama lo?" tanya Geva tak sabaran.
"gue enggak tau dia suka sama gue."
"masa? Masa lo enggak—"
"Geva," Raline menyela cepat.
"iya?" cowok itu menatapnya serius, karena kali ini Raline memanggil namanya dengan nada serius.
"jangan kayak tadi, gue gak nyaman," ucap Raline sambil membuang mukanya.
Ia menaruh bukunya di atas jok motor Geva, ingin mengambil helm-nya tapi sudah lebih dulu Geva pasangkan di atas kepalanya. Raline kembali mengambil bukunya.
"kita udah selesai, Geva."
"emang enggak ada harapan ya buat gue balik sama lo?"
Raline mengepalkan kedua tangannya erat-erat, melihat tatapan sendu dari cowok di depannya entah kenapa membuat Raline merasa ialah penjahatnya di sini.
"enggak. Gue enggak mau ngasih harapan atau kesempatan."
Keadaan sempat hening sesaat, Geva pada akhirnya tersenyum kecil, kendati hatinya terasa diremas dengan sangat kuat tapi ia tak mau menunjukkannya kepada Raline.
"gue coba enggak bakal gitu lagi, ok?"
Raline naik ke atas motor ketika sudah dinyalakan. Keadaan di atas motor juga hening sekali, beda seperti biasanya, penuh dengan gombalan Geva dan juga teriakan kekesalan Raline.
***
Raline datang ke sekolah cukup siang dikarenakan dirinya yang bangun terlambat, ia sibuk mengerjakan PR sejarah semalam. Hal pertama yang ia temui ketika masuk ke kelas adalah keadaan yang kacau balau. Beberapa dari teman sekelasnya tampak berkerumun di beberapa meja, mereka sedang mengerjakan PR sejarah yang deadline-nya dikumpul hari ini.
Pagi itu kelas menjadi sangat ribut. Tidak, kelas mereka memang suka ribut jika di pagi hari. Raline berjalan menuju ke mejanya yang terletak di paling depan, ia menaruh tasnya di atas kursi lalu menatap Ratna yang sedang sibuk dengan HP-nya.
"PR sudah?" tanya Raline kepada temannya itu.
Ratna menggeleng pelan, ia sibuk bermain game di HP-nya.
"biarin aja, Lin," Tegur Delmora, teman sebangku Ratna, "biar dia di keluarin dari kelas lagi."
"kan pelajaran sosio jam kedua, nanti waktu jam pelajaran B. Indo gue bisa sambil nyatat kok." Ucap Ratna santai.
Raline menggeleng kecil, ia baru akan menduduki tubuhnya di atas kursi jika saja namanya tak dipanggil.
"Raline." Fany yang baru sampai di kelas langsung memanggil namanya.
"kenapa?"
"ada Geva di depan," cewek itu menaruh tasnya di sebelah bangku Raline.
Tanpa banyak bicara Raline langsung beranjak keluar kelas, benar saja Geva ada di sana. Sedang bercengkerama dengan teman sekelasnya yang duduk di depan.
"eh, udah dulu." Cowok itu menyadari keberadaan Raline dan segera berjalan mendekatinya.
"kenapa?"
"makan yuk di kantin."
"enggak bisa. Gue belum ngerjain PR." Bohongnya.
Geva tersenyum kecut ketika Raline berjalan masuk kembali ke kelasnya. Cewek itu jelas sekali tak ingin bertemu dengannya setelah percakapan mereka kemarin.
Raline akan selalu memberi jarak untuk beberapa saat setiap Geva mengungkit masalah di masa lalu mereka.
"ngapain lo ke sini?" tanya Ago dengan wajah datarnya. Berdiri tepat di depan Geva.
"menurut lo?" Geva tersenyum miring.
"jauh-jauh dari Raline, lo—"
"lo bukan siapa-siapa Raline, jadi jangan ngatur-ngatur gue." Sela Geva. Ia berjalan melewati Ago dan sengaja menabrak bahu cowok tersebut.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
EX! vers.2 [✔]
Подростковая литература"Raline." "apa lagi?" "balikan, yuk." "kita udah selesai, Geva." Raline masih mencintai Geva, walau dua tahun berlalu sejak kandasnya hubungan mereka. cewek itu masih mencintainya, tapi Raline tak bodoh untuk kembali bersama Geva. ia menerima Geva...