EX! -chapter 9-

497 27 0
                                    

"di sini ajalah," ucap Geva sambil berdiri di bawah sebuah pohon rindang dengan sebuah danau di belakangnya.

Sepulang sekolah seperti yang di janjikan Raline kepada Geva, cewek itu akan melukis dirinya. Raline mengangguk kecil, ia lalu mendudukkan dirinya di kursi.

"lo mau berdiri aja atau duduk?" tanya cewek tersebut sambil mengatur alat lukisnya.

Tak kunjung mendapat balasan dari Geva, Raline lalu menoleh ke depan. Keningnya berkerut samar ketika tak mendapati cowok tersebut ada di hadapannya.

"Gev—"

"Raline!"

Ia mendongak ke atas, menemukan Geva yang kini sedang duduk di atas dahan pohon, melambai ke arahnya dengan senyum yang begitu lebar. Raline mendengus kecil.

"lo bakal duduk di atas sana?"

Geva mengangguk kecil, kemudian mendudukkan dirinya menghadap ke arah Raline.

"enggak hadap ke arah danau?" heran cewek tersebut.

"enggak. Gue mau sambil liatin lo," jawab Geva.

Tak ingin banyak membuang waktu Raline memilih untuk mengiyakan ucapan Geva. Ia mengambil kuas gambarnya, mulai melukis sosok yang duduk di hadapannya kini dengan serius.

Raline tidak dapat membohongi perasaannya ketika matanya yang sesekali menatap ke arah Geva, cowok itu menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan senyum yang teduh.

"Raline."

"apa?" sahut cewek tersebut dengan pandangan yang tak lepas dari kanvasnya.

"lo percaya gue, kan?"

"tergantung situasi."

Geva tersenyum kecil, "gitu ya?" gumamnya.

"kenapa emangnya?" tangan Raline berhenti bekerja, menatap Geva heran karena nada bicara cowok tersebut tiba-tiba saja berubah.

"enggak papa." Geva menggeleng kecil.

"lo jangan kayak cewek deh, Gev. Ditanya malah jawab gak papa." Raline mendengus sebal.

Sekali lagi cowok itu tersenyum kecil, senyum yang entah kenapa mengganjal sekali di hati Raline.

"gue cuman pengen lo percaya sama gue, kalau lo percaya sama gue, gue enggak bakal pedulikan omongan orang lain," Ucap cowok tersebut lalu meloncat turun ke bawah.

Berjalan mendekat ke arah Raline dan duduk di sebelahnya, "berita apa pun yang lo dengar tentang gue nanti. Gue harap lo enggak bakal percaya itu kecuali gue bilang sendiri ke lo."

Jemari Raline memegang erat kuas lukisnya, otaknya terus bertanya-tanya akan apa maksud dari ucapan Geva. Kenapa cowok tersebut tiba-tiba saja mengucapkan hal tersebut kepadanya?

"kalau gitu kenapa enggak lo bilang sekarang aja?" tanya Raline memberanikan diri.

"gue enggak bisa."

"kenapa enggak bisa?" Raline menatap Geva dengan lekat, cowok itu sudah tak menatapnya lagi. Kini yang ditatapnya adalah rerumputan hijau di bawah mereka.

"lo enggak bisa bilang karena itu berhubungan sama Olin, kan? Lo enggak bisa bilang karena takut itu bakal bikin gue luka lagi, kan?" tanya Raline dengan mata berkaca-kacanya.

Cewek itu lalu membereskan alat lukisnya dengan segera, "Raline." Geva memegang tangannya.

"gue mau pulang."

"tap—"

"gue baru sadar kalau gue selalu kalah kalau masalah memperjuangkan perasaan gue ke lo. Begonya gue yang enggak pernah mau nerima hal itu."

"lo enggak kalah."

"kalau gue enggak kalah kita enggak bakal putus sekarang, malam itu lo enggak bakal nyelinap keluar dari pesta dan ciuman sama Olin di parkiran. Lo bakal menghargain gue sebagaimana gue menghargain lo yang waktu itu belum bisa move on dari Olin."

Ucap Raline dengan air mata yang membasahi kedua pipinya, hatinya kembali sakit saat kenangan dua tahun lalu datang menghantui pikirannya.

Geva tak dapat berkata-kata, hatinya ikut sakit saat perempuan yang dicintainya sedang menangis di hadapannya sekarang.

Raline menghapus air matanya cepat. "gue mau pulang, lukisannya bakal gue kasih ke lo kalau sudah selesai." Ucapnya kemudian beranjak pergi.

***

Geva pulang ke rumah dengan keadaan lesu, ia menaruh tasnya di atas sofa dan merebahkan tubuhnya begitu saja. Tidak peduli jika nantinya akan kena marah oleh sang mama.

Lagi-lagi Geva merasa bersalah kepada Raline. Harusnya ia tak berbicara seperti itu tadi, maka dengan begitu mereka masih bisa bersama sekarang mungkin.

Geva menghela nafasnya berat, mengambil bantalan sofa dan menutup wajahnya.

"kak Olin tadi ngasih ini ke gue pas di sekolah." Ucap Jeje yang baru saja kembali dan lesnya.

"taruh aja di atas meja." Ucap Geva dengan suara teredam bantal.

"undangan pernikahan nih, kayaknya papa kak Olin mau nikah lagi." Jeje menaruh undangan tersebut di atas meja dan meninggalkan kakaknya.

Cukup lama Geva berdiam diri dengan posisi yang sama sebelum akhirnya bangkit duduk. Matanya langsung menangkap undangan pernikahan yang di beri Jeje tadi.

"Raymond Theodore and Lucy Zafira." Gumam Geva saat membaca kedua nama mempelai pengantin.

Keningnya berkerut cukup dalam saat menyadari jika nama belakang sang mempelai wanita tak asing di telinganya.

"Zafira? Zafi—mama Raline?!" seru cowok itu tak percaya. Ia bahkan sampai berdiri dari duduknya saking kagetnya.

Matanya melotot tak percaya. Ia yakin tak salah orang. Memang yang nama belakangnya Zafira itu banyak. Tapi siapa juga yang tak mengenal baik seorang Lucy Zafira di negeri ini?

Seorang mantan balerina berbakat dan sekarang menjadi pelatih sekaligus pemilik akademik balerina.

"yang benar aja, anjir?!" gumam Geva tak percaya.


TBC. 

EX! vers.2 [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang