Geva segera membalikkan tubuhnya begitu mendengar pintu rooftop terbuka, ia tersenyum lebar dan segera mendatangi Raline yang tampak kesusahan membawa makanan dan minuman. Mengambil alih kantung makanan itu Geva segera pergi ke salah satu bangku yang sudah di aturnya tadi.
Keduanya duduk berhadapan, Raline memesan pop mie dan mineral dingin sementara Geva dengan batagor dan mineralnya juga.
"eh, lukisan gue kemarin sudah selesai belum sih, Lin?" tanya cowok itu ditengah-tengah mereka menikmati makan siang.
Raline menelan mie yang masih di kunyahnya, "dikit lagi, beberapa detail lagi selesai kok."
Cowok itu mengangguk kecil, "ulang tahun gue bentar lagi, kasih itu aja buat hadiahnya." Geva kembali menyuap batagor ke dalam mulutnya.
Raline terdiam sesaat, dipikir-pikir lagi semenjak kandasnya hubungan mereka waktu itu, Raline tidak pernah datang ke pesta ulang tahun Geva. Undangan cowok itu selalu di abaikannya, tidak mengucapkan selamat ulang tahun atau memberi hadiah sekali pun.
"lo inget gak waktu SMP, kita bertiga rayain ulang tahun lo untuk pertama kali." Raline mulai bernostalgia.
"ohh... yang kita bolos pelajaran terakhir terus netap di sekolah sampai senja itu ya?"
Cewek itu mendengus kecil, "yang mana lagi emang?" sinisnya.
Keduanya sama-sama tersenyum ketika memori itu muncul di pikiran mereka, waktu itu Unna paling semangat, ia menitipkan kue ulang tahun Geva ke kantin sekolah dan saat jam terakhir mereka memutuskan untuk kabur dari pelajaran IPA yang amat ketiganya benci itu.
Di rooftop sekolah, mereka menghabiskan waktu, menyanyikan lagu untuk Geva, meniup lilin, memakan kue bersama serta menodai wajah satu sama lain dengan krim kue. Hari itu menjadi hari paling membahagiakan bagi Geva sebenarnya.
Untuk pertama kali ia merasa bebas di hari lahirnya, biasanya jika ulang tahun Geva sekedar mendapat ucapan selamat dari teman sekelas, makan bersama keluarga besar yang sangat membosankan karena mereka ujung-ujungnya pasti saling membandingkan prestasi anak mereka.
Dan juga, di tahun itu Raline masih sangat menyukainya. Cewek itu sampai membelikan Geva sepatu Air Jordan edisi terbatas, Raline juga dengan tulus mendoakan Geva segala hal terbaik untuk hidupnya.
Sungguh, sekarang Geva menyesal karena mengabaikan perasaan tulus cewek itu. Walau Raline ada di depannya saat ini, tapi cewek itu sangat mustahil untuk digapai, perasaan suka Raline sudah tercampur dengan perasaan benci.
"dateng, ya, nanti?" ujar Geva setelah ia tersadar dari lamunannya.
"dirayain?"
Cowok itu mengangguk, "mama maksa mau dirayain, sweet seventeen katanya."
Ralien menggeleng kecil sambil tersenyum tipis, "boleh lah."
Dan tak lama kemudian bel berbunyi, keduanya membereskan bekas makan mereka dan sama-sama turun ke lantai bawah. Geva menahan tangan Raline yang akan berjalan lurus sementara ia akan belok karena jalan kelas mereka berbeda. Cewek itu menatap tangan Geva sebentar lalu menatap cowok tersebut.
"kenapa?"
Geva menggaruk kepala belakangnya dengan canggung, "gue..." cowok itu berdeham kecil.
Lama ia menunggu apa yang akan dikatakan Geva, tapi cowok itu tak kunjung bicara. Kalau begini keburu guru yang mengajar di kelasnya datang nanti, mengingat jarak antara rooftop dan kelasnya cukup jauh.
"apa sih? Buruan!" desak cewek itu gregetan.
Geva menghembuskan nafasnya perlahan, "gue suka sama lo," ucapnya setelah detak jantung cowok itu sedikit normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
EX! vers.2 [✔]
Teen Fiction"Raline." "apa lagi?" "balikan, yuk." "kita udah selesai, Geva." Raline masih mencintai Geva, walau dua tahun berlalu sejak kandasnya hubungan mereka. cewek itu masih mencintainya, tapi Raline tak bodoh untuk kembali bersama Geva. ia menerima Geva...