EX! -chapter 21-

381 20 0
                                    

Raline dan Owen sama-sama terdiam di depan pintu ketika melihat kondisi rumah sudah kacau, vas bunga, bantalan sofa, bahkan figura-figura berserakan di lantai. Keduanya sempat mengira adanya perampokan barusan jika tak mendengar suara teriakan kencang dari lantai dua.

Mereka saling pandang dan memutuskan untuk naik ke atas, di lantai atas mereka melihat pintu kamar Olin terbuka lebar dan suara isak tangis cewek itu terdengar jelas. Keduanya berdiri di ambang pintu, melihat kamar Olin yang tak kalah berantakan dari lantai satu dan kedua orang tua mereka yang tampak sibuk menenangkan Olin.

"papa?" panggil Owen.

Fokus pria itu langsung teralihkan, ia mendesah lega saat melihat kedua anaknya sudah pulang ke rumah, Raymond menghampiri mereka, membawa keduanya keluar dari kamar Olin dan menutup pintu tersebut.

"Olin kalah audisi, dia enggak kepilih buat meranin Swan jadi—"

"jadi kak Olin yang ngehancurin rumah?" sela Owen cepat.

Raymond mengangguk sambil mengusap wajahnya frustasi.

"HARUSNYA AKU, MA! AKU YANG KEPILIH! KENAPA MEREKA MALAH MILIH DELINA?! BAGUSAN AKU YANG MERANIN! MAMA GIMANA SIH! KATANYA BAKAL BIKIN AKU JADI PEMERAN UTAMANYA!"

Teriakan nyaring Olin terdengar, mungkin bisa sampai ke kamar pembantu di lantai satu saking nyaringnya, Raline tak bisa berbicara apa-apa. Cewek itu hanya diam, berbeda dengan Owen yang ikutan marah sekarang.

"itu kenapa papa milih kak Olin? Tapi papa sudah janji, 'kan? Jauh-jauh hari papa bilang bakal datang?" Owen turut tersulut emosinya.

Raymond mencoba memegang bahu anaknya itu tapi langsung ditepis oleh Owen, anak itu munduk beberapa langkah.

"bohong aja terus," ucapnya dingin, "susah banget ya, pa, buat nolak permintaan kak Olin? Nonton bentar aja, pa. yang penting Owen lihat papa di lapangan itu sudah cukup, kok!"

"Owen, bukan gitu, nak—"

"aku anak kandung papa enggak, sih? Atau cuman anak pungut?"

"Owen!" tegur Raline ketika omongan anak itu sudah sedikit keterlaluan.

Anak laki-laki itu menatap kearahnya, "apa, kak? Emang benar, 'kan? Di rumah ini yang peduli sama kita enggak ada, asalkan kita udah makan mereka enggak peduli lagi, beda sama kak Olin yang terus-terus-an diperhatiin, capek tau!"

Owen membanting mendali yang di dapatnya dan berlari ke kamarnya, membanting pintu itu dengan keras sampai Raline di buat sedikit terkaget. Raymond menghela nafasnya kasar, ia lalu mengambil mendali itu dan mengusapnya.

"tim Owen juara satu, 'kan, Lin?" tanya Raymond sambil menatap mendali itu penuh kagum.

Raline mengangguk kecil, "om... tahu?"

Raymond tersenyum kecil, ia lalu menyerahkan mendali itu kembali kepada Raline, "sementara nungguin Olin audisi tadi, om nyuruh sekertaris buat video call dan om nonton dari sana."

Pria itu kemudian menatap pintu kamar anak laki-lakinya tersebut, "om, salah. Om tahu, harusnya enggak usah berjanji—"

"kalau gitu lain kali coba buat sedikit kasih Owen perhatian, om." Raline menatap yang lebih tua dingin.

"Owen berharap banyak sama, om. Lain kali coba tepatin, mengabaikan permintaan Olin sekali enggak ngebuat om jadi orang tua yang buruk."

Raline lalu berjalan meninggalkan Raymond, mendali tadi tetap di berikan kepada pria tersebut dengan maksud agar Raymond sendiri yang memberikannya pada Owen nanti.

Berbeda dengan Raline yang sudah terbiasa di abaikan oleh Lucy sejak ia kecil, Owen masih seorang remaja yang perlu bimbingan orang tuanya, ia anak yang masih memerlukan perhatian dan kasih sayang dari Raymond. Melihat Owen diabaikan seperti itu membuat Raline tak terima.

EX! vers.2 [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang