"Geva..."
Unna menyentuh pundak temannya itu tapi tak ada respon sama sekali dari laki-laki didepannya, mata Geva malah terfokus pada batu nisan bertuliskan nama sang kekasih dengan tangan gemetar ia mengusap nama tersebut, Geva tak ingin meninggalkan Raline di tempat ini, ia ingin terus bersama Raline.
"gimana kalau dia kedinginan, Na?" ucap cowok tersebut dengan suara serak.
Beberapa hari belakangan Geva lebih sering menangis, bahkan disaat orang-orang mulai memasukkan Raline ke dalam peti pun Geva tak hentinya menangis histeris. Tak pernah terpikir jika Geva akan kehilangan Raline secepat ini.
"Geva, pulang, yuk?" Unna mencoba mengontrol suaranya setenang mungkin, ia sudah kehilangan satu sahabatnya dan Unna tak ingin kehilangan lagi.
"gue enggak bisa, Na."
Atensi Geva akhirnya terarah kepada Unna keduanya sama-sama berlinang air mata, tanpa pikir panjang mereka langsung berpelukan di sebelah makam Raline, Unna mengusap punggu lebar Geva yang bergetar karena menangis. Membiarkan Geva untuk menangis sepuasnya dipelukannya sambil sesekali mengucapkan kalimat penenang yang Unna tahu itu tak akan berpengaruh kepada keadaan Geva sekarang.
"gue enggak bisa hidup tanpa Raline, Na... hiks..."
Kalimat itu yang sering keluar dari mulut Geva akhir-akhir ini, Raline sudah menjadi pusat dunianya Geva, kehilangan Raline sama saja dengan kehilangan mataharinya, dunianya menjadi gelap dan Geva menjadi kehilangan arah.
"gue tahu lo belum bisa ikhlas sekarang, nangis sepuasnya, enggak papa." Unna mengusap kepala cowok itu dengan lembut, matanya pun menatap nisan bertuliskan nama Raline.
Raline dikuburkan tepat disamping makam sang papa, sesuai dengan permintaan sang kakak, jika bertanya tentang keadaan Ruby, pria itu sama kacaunya. Ia bahkan melampiaskan emosinya kepada Lucy, menyalahkan semua perbuatan wanita itu yang sudah menimbulkan dampak merugikan kepada adiknya.
"gue harap lo bisa bangkit lebih kuat lagi suatu saat, Gev. gue harap lo bisa ikhlasin kepergiaan Raline suatu saat..."
Selanjutkan Geva dan Unna sama-sama berjalan meninggalkan area pemakaman dengan Unna yang selalu menggandeng tangan cowok tersebut, tapi ditengah perjalanan mereka menuju ke mobil kepala Geva terasa begitu sakit, seolah ada batu besar yang menghantam kepalanya, pendengarannya pun menjadi berdengung.
Geva tak dapat mendengar suara Unna tapi bisa dilihat dari ekspresinya jika cewek itu sangat panik sekarang, pengelihatannya semakin memburam seiring berjalanannya waktu sampai akhirnya Geva kehilangan kesadarannya.
***
"lo mau makan apa, Ta?"
"nasi padang."
"jangan nasi padang mulu elah! Yang lain kek!"
"nasi padang enak, Gas!"
"ya masa dari kemarin nasi padang mulu? Yang lain! Gue mau sate taichan!"
"ya nga—"
"ugh—"
Perdebatan kedua cowok itu terhenti ketika mendengar suara yang berada di atas tempat tidur, Okta dan Bagas sama-sama menatap sosok Geva yang kini terbaring diatas tempat tidur dengan infus menempel di tangan kanan cowok tersebut.
Perlahan mata yang selama satu hari penuh tertutup itu akhirnya terbuka, bau obat-obatan langsung masuk memenuhi indra penciumannya. Cowok itu menoleh ke samping dan menemukan kedua sahabatnya yang sedang menatapnya.
"panggilin dokter, Ta," ucap Bagas kemudian berjalan ke samping Geva.
Okta tanpa menjawab langsung berlari keluar sementara Bagas malah langsung memencet tombol yang biasa digunakan untuk memanggil perawat, sedikit menjahili temannya tersebut. Bagas lalu duduk disebelah Geva.

KAMU SEDANG MEMBACA
EX! vers.2 [✔]
أدب المراهقين"Raline." "apa lagi?" "balikan, yuk." "kita udah selesai, Geva." Raline masih mencintai Geva, walau dua tahun berlalu sejak kandasnya hubungan mereka. cewek itu masih mencintainya, tapi Raline tak bodoh untuk kembali bersama Geva. ia menerima Geva...