Pintu besi itu terbuka, sosok Olin muncul dari balik pintu dengan pakaian berwarna putih. Wajah cewek itu berubah drastis berbeda seperti beberapa minggu lalu, pipinya menjadi lebih tirus dan kantung matanya sedikit menghitam. Rambut indah Olin pun terlihat tak terurus ditambah lagi dengan penurunan berat badan, keadaan Olin benar-benar memprihatinkan.
Cewek itu duduk di depan Raline dengan pandangan yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu, keduanya hanya terpisah oleh kaca bening dengan beberapa lubang di tenganya.
Hal pertama yang Raline lakukan ketika ia keluar dari rumah sakit adalah bertemu dengan Olin walau saat mengatakan itu Ruby dan Geva protes, mereka marah karena Raline masih ingin bertemu dengan Olin yang hampir membuatnya meninggal. Sampai akhirnya ia diperbolehkan bertemu cewek itu walau hanya sebentar saja.
"lo beruntung karena masih hidup," komentar Olin begitu meneliti keadaan Raline, jauh lebih baik dari terakhir mereka bertemu.
"gue—"
"lo berharap gue minta maaf sama lo? Sujud-sujud dibawah kaki lo sambil nangis, berharap lo bisa maafin gue?" Olin menyela ucapan orang di depannya, ia kemudian memajukan tubuhnya membuat wajahnya lebih dekat dengan kaca bening tersebut.
"jangan mimpi!" kedua matanya melotot tajam sebelum akhirnya Olin menghempaskan kembali tubuhnya ke belakang.
"gue juga enggak berharap itu dan gue enggak berniat buat maafin lo!" tegas Raline, apa yang diharapkannya dari Olin? Cewek itu tak akan berubah walau dunia kiamat sekalipun.
"gue ke sini cuma mau bilang kalau keluarga Raka mutusin buat nyabut alat penopang hidupnya."
Kali ini ekspresi wajah Olin sedikit melunak, ia tak menyangka mendengar kabar Raka bisa membuat hatinya berdenyut sakit, cewek itu lalu menaruh kedua sikunya di atas meja dan menatap Raline serius.
"ma-maksudnya... mereka bakal biarin Raka meninggal?" kedua mata Olin berkaca-kaca.
Raline tak menyangka bisa melihat ekspresi seperti itu dari wajah Olin, cewek itu terlihat terluka dan kehilangan.
"Raka dalam kondisi mati otak, enggak ada yang bisa dilakuin selain ikhlasin dia pergi."
BRAK!
"ENGGAK!"
Tubuh Raline terlonjak kaget ketika Olin tiba-tiba saja memukul kaca pembatas mereka, matanya memerah disertai dengan air mata yang turun, Olin mengamuk sejadi-jadinya membuat petugas penjaga terpaksa menyeretnya pergi dan Geva yang mendengar adanya keributan di dalam segera masuk untuk mengecek keadaan sang kekasih.
"RAKA GAK BOLEH PERGI! SIAPA YANG SURUH DIA BUAT PERGI! DIA HARUS DI SINI! DIA HARUS SAMA GUE!" amuk Olin, cewek itu memberontak setiap kali petugas menyentuh tubuhnya,
Geva dengan cepat membawa kekasihnya ke dalam pelukannya dan melihat Olin dengan tajam, cowok itu terus-terusan mengelus punggung sempit Raline yang bergetar, belum lama ia mengalami kejadian buruk, hal seperti ini jelas saja memicu ketakutan Raline kembali.
"GEVA! GEVA! TOLONG AKU! JANGAN BIARIN MEREKA BUNUH RAKA! GEVA TOLONG SELAMATIN RAKA!!!" seru Olin yang sudah diseret oleh petugas penjaga.
Tanpa berucap apa pun Geva langsung membawa kekasihnya keluar dari ruangan, ia mendudukkan Raline di salah satu bangku dan memberikan cewek itu sebotol air mineral, Geva duduk disebelah sang kekasih dan mengelus punggung Raline perlahan, mencoba untuk menenangkan cewek tersebut.
"kalau belum siap seharusnya jangan temuin dia."
Raline melemparkan senyum kecilnya, "Olin harus tahu gimana keadaan Raka, supaya dia bisa nyesal sama perbuatannya," jawab cewek tersebut sambil menatap botol minuman yang ada digenggamannya.
***
Akademik dalam ambang kehancuran, media menyoroti kasus yang diperbuat oleh Olin salah satu balerina kebanggan akademik. Dengan kasus tersebut banyak sekali korban bully-an Olin yang satu persatu mulai buka suara atas perbuatan buruk cewek tersebut. Lucy bahkan tak bisa berbuat apapun lagi untuk melindungi Olin.
Sore itu, Lucy memutuskan untuk datang ke kuburan William. Ini yang ketiga kalinya ia datang ke kuburan sang mantan suami, wanita itu datang dengan membawakan buket bunga baby's breath, bunga kesukaan William. Ia berdiri tepat di depan pusaran sang suami, menatap batu nisan yang bertuliskan nama pria tersebut.
Bohong jika ia mengatakan tidak pernah mencintai William, ia pernah mencintai pria tersebut. tapi rasa bencinya terhadap keluarga pria itu terlalu besar sampai-sampai Lucy menutup mata akan semua kebaikan William. Laki-laki yang bahkan sampai diakhir hayatnya tetap mencintainya.
"kalau kamu tidak bisa mencintai aku, setidaknya cintai anak-anak, mereka tidak bersalah, jangan lampiaskan amarahmu kepada mereka, cukup kepadaku saja."
Ucapan terakhir William sebelum akhirnya Lucy mendapat kabar akan kematian pria tersebut. seharusnya Lucy menuruti perkataan William saat itu, karena sekarang Lucy merasa sangat bersalah setiap kali melihat anak-anaknya apalagi Raline, anak itu yang paling banyak menderita karena keegoisannya dan sekarang Lucy tak dapat menemuinya sesuka hatinya.
"kamu marah?" tanya Lucy yang saat itu sudah duduk disamping makam William, wanita itu menaruh buket bunga tadi di atas makam William.
"William... Ruby dan Raline sudah tumbuh besar, anak-anak itu... mereka tumbuh dengan cepat tanpa sepengetahuanku." Lucy tersenyum sendu.
"karena keegoisanku, Raline hampir meninggal. Kamu pasti memakiku di atas sana, 'kan?" jemari lentik itu mengusap nisan sang mantan suami perlahan.
Ia merasa kosong, bahkan ketika Lucy sudah bersama kembali dengan kekasih hatinya, wanita itu masih merasakan ada yang hilang. Sekarang Lucy tahu apa yang hilang, itu William. Pria yang selalu menatapnya dengan penuh kelembutan dan senyum yang manis walau Lucy sering kali memarahi atau meneriakinya.
William yang selalu mengurusi anak-anak sementara ia memilih untuk mengurusi akademik, William yang bahkan tetap menerimanya walau tahu jika dirinya berselingkuh dengan Raymond. William yang rela dikucilkan oleh keluarganya karena menikahi dirinya yang bukan siapa-siapa. Pria yang rela menghabiskan uangnya demi membantu dirinya mendirikan akademik balet.
"aku tidak menyesal, Will. Kuharap kamu mau memaafkan segala kesalahanku dimasa lalu walau itu sudah sangat terlambat."
Kedua matanya mulai berkaca-kaca, Lucy membaca diary William tadi malam. Lucy terlalu terlambat menyadari jika ia begitu dicintai oleh pria tersebut, pria yang bahkan kini hanya bisa dilihatnya dari selembar foto. Lucy memegangi dadanya yang terasa sesak.
Cintanya kepada Raymond, keegoisan mereka yang ingin bersama menimbulkan banyak luka untuk orang lain. Lucy tak bisa berhenti menangis saat membaca diary William saat pria itu menuliskan betapa terluka dirinya. Wanita itu sadar ia tak bisa memperbaiki apapun lagi, yang tersisa di dirinya saat ini hanyalah penyesalan karena menyia-nyiakan sosok William dan mengabaikan kedua anaknya.
"hak asuh Raline sudah jatuh ke tangan ayahmu, Raline resmi menjadi bagian dari Demetrys." Lucy tersenyum getir.
Setelah ini, ia tidak diperbolehkan lagi untuk menemui anak-anaknya. Setelah pria paruh baya itu tahu apa yang terjadi pada cucunya, Argani Demetrys melarang keras Lucy untuk mendekati Ruby dan Raline. Keluarga Demetrys yang selama ini sudah berinvestasi besar kepada keluarganya menarik semua saham mereka, membiarkan keluarga Zafira kembali kedalam keterpurukan seperti saat William dan Lucy pertama bertemu.
Lucy tak bisa membantu keluarganya karena ia pun sendiri harus bersiap menutup akademik dan membayar kerugian yang ditimbulkan Olin serta gaji para karyawan dan ballerina lainnya. Bahkan dengan bantuan Raymond pun kerugian tersebut tak bisa tertutupi.
"William... terima kasih karena sudah pernah mencintai wanita sepertiku."
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
EX! vers.2 [✔]
Fiksi Remaja"Raline." "apa lagi?" "balikan, yuk." "kita udah selesai, Geva." Raline masih mencintai Geva, walau dua tahun berlalu sejak kandasnya hubungan mereka. cewek itu masih mencintainya, tapi Raline tak bodoh untuk kembali bersama Geva. ia menerima Geva...