Nura
“Kak Nura.”
Mataku mengedar, menyisir ruangan kafe yang kebetulan sedang ramai. Mengamati satu per satu pengunjung ternyata membuatku malu, takut membuat mereka risi. Ah, lebih baik ditelepon.
Panggilan diangkat secepat kilat.
“Di meja pojok, Kak,” kata Yana setelah menjawab salamku, padahal aku belum bertanya.
Merasa tidak puas hanya berbincang sebentar di butik saat fiting gaun. Yana pun meminta nomorku kepada Bu Monik dan meminta bertemu. Awalnya, aku kaget ketika dia mengajak ngobrol di kafe langgananku ini, tapi wajar saja, mungkin kafe ini memang terkenal. Buktinya, pengunjungnya banyak.
Gadis bermata amber itu melambaikan tangan. Menyuruhku segera menghampirinya dengan isyarat tangan dan gerakan bibir tanpa suara.
Yang benar saja, Yana memesan meja impian? Aku pun mematikan sambungan telepon lalu menghampirinya.
“Nunggu lama?” tanyaku sambil menarik bangku.
Aku tidak perlu waswas kalau pramusajinya menegur, kan? Atau aku harus menegur Yana dulu sebelum kami ditegur pemilik kafe.
“Lumayan, tapi enggak apa-apa, kok. Tadi aku bantu-bantu Bang Bara di belakang,”
Bang Bara? Seperti pernah dengar nama itu. Melihat alisku yang terangkat satu, Yana menjelaskan ketidakpahamanku.
“Kafe ini punya abang aku, Kak.”
Mataku sontak melebar. “Yang bener? Tapi sebelum di Jogja waktu itu, kita belum pernah ketemu, ya, padahal dulu aku sering ke sini.”
“Kan aku kuliah di Jogja.”
“Sebelum kamu kuliah.”
Awal aku mengenal kafe bercorak hitam kuning ini satu tahun setelah lulus SMA. Itu artinya, Yana masih SMP. Kebetulan usia kami terpaut empat atau lima tahun. Itu artinya ada sekitar empat tahun sebelum dia pindah ke Yogyakarta untuk kuliah. Selama itu pula, aku tidak pernah sekali pun melihatnya ada di kafe.
Memang,sih, tidak sepanjang waktu datang ke sini dan pastinya Yana juga tidak setiap waktu ada di kafe. Kenapa aku terlalu memikirkannya? Lagi pula, pikiranku terlalu sempit. Mungkin saja kami datang ke sini di waktu yang tidak bersamaan. Intinya seperti itu. Jangan mempersulit kerja otak.
“Kak Nura mau pesan apa?”
“Cokelat panas aja.”
“Oke, kali ini cokelat panasnya, aku yang bikinin.” Gadis itu bangkit dan langsung ke belakang.
Beberapa saat kemudian, dia sudah kembali dengan baki berisi satu cangkir cokelat panas dan capuccino latte. Pesanannya mengingatkanku pada Mas Hasbi.
“Sibuk apa setelah lulus kuliah?” tanyaku. Setelah menerima minuman dan menyeruputnya sedikit. Pikiranku harus teralihkan. Mendengarkan pengalamannya, mungkin lebih menarik dan bermanfaat.
Bukannya belum bisa ikhlas atas kematian suamiku, tapi namanya kenangan, kan—apalagi yang indah—tidak akan mudah terlupakan. Ia masih tetap tertanam di hati. Menemaniku sepanjang hari.
“Beberapa bulan lalu, aku diterima di firma arsitektur di Jakarta Selatan. Tapi enggak aku ambil, enggak dibolehin sama Papa. Akhirnya, aku cuma ngambil proyek freelance. Itu juga masih jarang dapet tendernya. Soalnya aku belum banyak pengalaman. Paling mentok-mentok bikinin desain buat rumah atau apartemen temen, rombak desain kantor Papa, atau ngacak-acak rumah sendiri. Sebenernya, Papa kesel liat tingkah aku, tapi dia pasrah, soalnya dia juga yang larang aku kerja.” Yana tersenyum kecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...