36. Menyinggung Titipan ✓

32 5 0
                                    

Tentang omongan orang. Jika itu benar, kita tidak boleh tersinggung. Untuk apa marah kalau itu kebenaran. Jika itu salah, kita juga tidak boleh tersinggung. Untuk apa marah kalau itu tidak benar. Kuncinya, kita hanya perlu menerima apa yang mereka katakan. Tanpa harus memasukkannya ke dalam hati.

~Nura~

~~~•~~~


Nura

Chanel televisi terus saja berpindah-pindah. Hanya mau mencari saluran yang sekiranya pas untuk ditonton. Malam-malam begini biasanya kebanyakan sinetron yang dipertontonkan dan aku tidak suka. Aku tidak suka melihat peran antagonis dalam sinetron, terlihat jahat sekali.

Pernah sekali menonton, sorang wanita yang jahat ingin membunuh wanita baik dengan membuat rem mobil wanita baik menjadi blong, hanya karena kecemburuan tak berdasar. Wanita jahat ingin merebut suami wanita baik. Klise tapi berlebihan. Aku lebih suka menonton acara talk show yang lucu atau talk show inspiratif. Nah, akhirnya ketemu chanel yang kucari. Acara lawak dengan candaan receh. Lumayan, buat hiburan.

Biar tidak sepi.

Biasanya malam hari kami habiskan dengan mengobrol. Aku suka sekali mengobrol dengan Eyang. Banyak cerita yang aku dapatkan darinya. Tentang kehidupan dahulu sebelum reformasi, G30S PKI, bahkan sebelum emansipasi wanita. Namun, malam ini tidak bisa mendengarkan cerita, karena Eyang sedang menginap di rumah Ayunda. Eyang menemani selama orang tuanya bekerja ke luar kota.

Sedangkan Mas Hasbi di kamar, sedang mengganti baju koko selepas dari masjid. Biasanya Mas Hasbi paling suka tidur di pangkuanku. Saat aku duduk pasti dia mengambil kesempatan untuk merebahkan kepalanya. Sebenarnya geli dengan kebiasaannya itu. Jadi, untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, aku duduk mengangkat kaki ke sofa lalu kupeluk lutut sambil menikmati kelucuan pelawak-pelawak di televisi.

Tiba-tiba Mas Hasbi muncul dan menurunkan kakiku lantas dia langsung menjatuhkan kepalanya di pahaku. Antisipasi yang aku lakukan gagal total.

"Kebiasaan," gumamku.

"Aku denger. Enggak usah ngedumel," katanya sambil mencolek daguku.

Fokusku buyar akibat perlakuan dadakannya. Membuatku bergeming. Hanya sentuhan-sentuhan kecil saja efeknya luar biasa pengaruhnya ke dalam hati. Sekarang ditambah tatapannya dari bawah. Aku tidak ingin menunduk, bisa-bisa terbius dengan tatapan mautnya.

Merasa aku abaikan, dia mengambil tanganku dan mengelusnya sambil menonton televisi.

"Mas," kataku.

"Heem," sahutnya.

Yang paling aku suka darinya adalah, saat aku memanggilnya dia akan langsung mengalihkan fokusnya kepadaku. Walaupun dia dalam keadaan sibuk sekali pun.

"Besok Mas Hasbi libur, kan?" tanyaku memastikan.

"Iya. Kenapa? Mau bobo cepet?" Dia menaikkan alisnya sambil tersenyum menggoda.

Aish. Dia ini.

"Enggak, besok ke rumah Mbak Nara, yuk. Kita nengok Dede Neyra. Mas Hasbi, kan, belum nengokin dari pas di rumah sakit nyampe sekarang udah di rumah, kan?" ujarku.

"Kan udah ngliat lewat foto yang kamu tunjukin kemarin," katanya.

"Kan itu cuma foto. Lagian cuma ke rumah Mbak Nara sebentar buat nengok bayi apa susahnya, sih?" Jadilah manyunku keluar.

"Aku males nyetir," ucapnya beralasan.

"Kalo Mas Hasbi enggak mau nyetir biar Nura aja yang nyetir," tawarku.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang