29. Bertemu Teman Baru ✓

69 11 0
                                    

Keberuntungan hidup bukan hanya memiliki harta benda bahkan dunia dan seisinya. Karena keberuntungan yang sejati akan dirasakan oleh orang-orang yang mampu mensyukuri diri bagaimanapun keadaan hidupnya.


~Nura~

~~~•~~~

Nura

Aku sudah berdiri di sini, tempat yang harus kudatangi setengah jam yang lalu. Napasku masih tersengal-sengal karena terlalu lama berjalan dan naik turun metromini. Terulang lagi, aku kesasar. Kali ini kesasar jauh sekali. Itu akibat keangkuhanku tidak menuruti Eyang untuk naik taksi. Lebih mengikuti egoku yang lebih suka naik angkot atau metromini daripada naik taksi. Awalnya sayang kalau harus naik taksi yang sudah pasti tarifnya mahal. Namun, ternyata lebih baik naik taksi daripada ujung-ujungnya harus kerepotan seperti ini.

Hanya bermodal nama dan alamat saja, dan modal bertanya ke orang di jalan untuk memberitahuku metromini yang bisa membawa ke tempat ini. Bukannya terbantu malahan jarak yang kutempuh semakin jauh, padahal aku sudah bilang ke Eyang akan sampai di panti sebelum Zuhur. Ini malah sudah azan.

Sekotak kardus berisi cokelat masih setia dalam pelukan. Kuteliti kembali papan bertuliskan "Panti Asuhan Kasih Hati". Ini benar nama dan alamatnya. Berhubung sudah Zuhur, kuputuskan salat dulu. Kebetulan di seberang panti ada masjid.

Selain sering ketiduran dan sering kesasar saat pergi-pergian, aku juga takut menyeberang jalan. Malu rasanya mengakui itu.

Jam istirahat kerja seperti sekarang ini, jalanan banyak kendaraan berlalu lalang. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang ingin mencari makan siang di luar tempat kerja. Repot sekali mereka ini, makan siang saja harus jauh-jauh. Harusnya makan di warung dekat tempat kerja dan memanfaatkan waktu-waktu istirahatnya sebaik mungkin. Bukannya macet-macetan di jalan.

Aku harus mengeluarkan jurus menyeberang. Mengangkat satu tangan untuk memberikan aba-aba pada mengendara bahwa aku mau menyeberang. Kardus yang kubawa membuat sedikit sulit. Tangan kiriku harus menumpu sendiri kardus, sedangkan tangan kanan kugunakan untuk menghentikan kendaraan agar bisa menyeberang.

Huuuf!

Akhirnya, tantangan sudah terlewati. Aku tidak kebagian salat berjamaah gara-gara kelamaan di toilet. Waktu salat Zuhur baru lima belas menit berlalu, tapi masjid sudah terlihat sepi. Di tempat salat wanita pun sudah sepi, hanya ada satu anak kecil yang sedang duduk di sudut. Kugelar sajadah yang kubawa dari rumah. Aku terbiasa membawa alat salat sendiri ke mana-mana agar tidak perlu menggunakan mukena milik masjid. Lagipula aku ingin alat salatku ini yang akan setia dan menjadi saksi di Yaumil Hisab kelak.

Allahu akbar.

Allah Maha Besar lagi sempurna kebesaranNya. Segala puji Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah sepanjang pagi dan sore. Aku hadapkan wajahku pada Dzat yang menciptakan langit dan bumi, dalam keadaan lurus dan pasrah. Dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan dan aku termasuk golongan orang-orang muslim.

Kuusapkan tangan ke wajah untuk mengakhiri salat. Bibirku masih komat kamit mengucapkan butir-butir kalimat pengingat Allah. Tak sengaja menoleh ke arah anak di pojokan itu, dia sedang melihatku dengan saksama. Sejak kapan dia menatapku seperti itu, jangan-jangan, dia mengamati selama aku salat. Ah, jadi malu, sedang salat ada yang mengamati.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang