21. Sadar Sesadar-sadarnya ✓

50 6 2
                                    

Panji

"Halo,  halo, Nura." Aku memastikan telepon masih tersambung, tapi ternyata sudah terputus secara sepihak.

Dia di rumah. Rumah yang mana maksudnya. Ibunya atau suaminya?

Mengikuti insting saja lah. Tidak menunggu lama, langsung kusambar kunci motor dan bergegas keluar dari kamar. Ini adalah panggilan darurat yang selalu aku rindukan. Aku senang karena merasa dibutuhkan, apalagi gadis sunflower itu yang membutuhkanku.

"Panji, kok buru-buru. Mau ke mana?" tanya Bunda. Ia menghentikan kegiatan menyulam yang entah sejak kapan ditekuninya itu. Bahkan aku baru tahu kalau ia sekarang memiliki hobi tersebut.

"Rumah Nura. Ayahnya meninggal," kataku sambil berjalan keluar. Aku tidak mau bertele-tele, harus segera menuju TKP.

"Innalillahi wa innailaihi raji'un, Bunda ikut." Terpaksa aku harus menunggunya memakai peralatan perang wanita saat keluar. Apalagi kalau bukan baju gamis, kerudung, kaus kaki, dompet dan tetek-bengeknya. Sangat menyita waktu.

Tidak lama untuk sampai. Untung aku sudah tahu rumah Nura yang baru karena pernah mengantar Bunda ke sana. Ya, meskipun ogah-ogahan, mengingat kondisiku masih belum baik.

Pintu rumah terbuka begitu saja. Suara tangisan menggema. Aku mendapati Bu Ane menangis memeluk tubuh Pak Kutbi yang terbujur kaku. Sedangkan Nura, dia duduk di lantai menyandar tembok sambil memeluk lututnya. Dia tidak menangis, tapi bisa dipastikan, dia tadi menangis hebat karena mata dan hidungnya merah.

Menyadari keberadaan kami, Bu Ane berdiri dan langsung memeluk Bunda. Sudah tahu apa yang harus dilakukan, Bunda mengelus-elus punggung Bu Ane sambil memberikan dengan kalimat-kalimat penguat.

"Herra sama Nara belum tahu," ucap Bu Ane sesenggukan.

"Panji telepon Herra sama Nara, cepetan." Situasi seperti ini Bunda jadi ikut panik.

Aku keluar dari kamar dan mencoba menghubungi Mbak Herra dan Nara. Anak mana yang tak terkejut saat ada orang menelepon dan mengatakan bahwa orang tuanya meninggal. Itulah yang terjadi pada mereka berdua. Aku saja sangat kaget, apalagi mereka. Isak tangis dan kepanikan terdengar saat berita itu aku sampaikan. Sama seperti Nura, kedua kakaknya pun memutuskan panggilanku secara sepihak.

Kudapati Nura berjalan ke luar rumah. Langkahnya tenang, tak ada air mata di pipinya. Ingin sekali aku memeluknya dan mengatakan aku di sini untukmu.

Selesai menelepon Nara, aku memutuskan menghampiri Nura. Langkahku terhenti tepat di pintu, setelah sesosok pria berlari dan langsung memeluk Nura yang sedang duduk di lantai halaman. Seakan angin tidak ada yang melewatiku. Udara seakan hampa. Sulit sekali barang bernapas sedikit. Kenapa dia yang memeluknya. Kenapa dia memeluknya di depanku?

"Ayah masih belum bangun, Mas. Ayah nyenyak banget tidurnya." Suara itu terdengar manja, tapi sarat dengan luka.

"Mas Hasbi beliin Nura bunga matahari juga, ya. Biar bunga matahari Ayah ada temennya. Tuh ... tadi pagi Ayah yang tanem." Aku benci senyum itu. Senyum yang membohongi jerit sakit hatinya.

"Ayah juga tadi minta Nura bikin klepon. Tapi Ayah belum sempet makan. Nanti Mas Hasbi aja yang makan, ya." Nura melepaskan pelukannya.

Nura mengembangkan senyumannya.

Aku mundur, dan di sini aku sadar sesadar-sadarnya. Dia memang bukan untukku. Dia sudah menjadi milik orang lain dan aku malu semalu-malunya menyadari kebodohanku yang tetap menyimpannya dalam hati.

~~~•~~~

 




Ada yang mau bilang nggak sama Panji buat berhenti berharap. Lama-lama aku kasian sama hatinya, takut warna merahnya memudah.

Jangan lupakan tombol bintangnya ya... Komen sangat dibutuhkan biar aku nambah semangat.

Vote dari kalian udah bikin aku bahagia kok. Sesimpel itu. Wkwk

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang