41. Kunjungan Menantu ✓

30 4 0
                                    


Nura

Pemakaman?

Aku tidak salah li A1hat. Itu memang pemakaman umum. Jelas juga terbaca di tembok nama pemakamannya.

"Kalian tunggu di sini aja," kata Mas Hasbi. Dia keluar.

Apa yang dia lakukan? Mas Hasbi membuka pintu mobil tepat di sampingku setelah tadi mengetuk jendelanya.

"Ayo, Ra," ujarnya.

Katanya kami disuruh menunggu di sini. Aku keluar dengan masih memendam berbagai pertanyaan. Dia berjalan meninggalkanku, hei! Kenapa dia masuk ke pemakaman? Aku bergidik. Sekarang sudah hampir Magrib. Namun, kami malah masuk ke pemakaman bukannya masuk ke masjid. Aku berjalan cepat untuk menyemai langkah pria itu.

Dia berhenti dan diam mematung di depan sebuah makam. Matanya lurus tertuju pada pusara keramik yang jelas cetakan namanya "Erna Harjodinata". Apakah ini makam ....

"Salam dulu sama Abi dan Umi," ucapnya.

Dia selalu menjelaskan saat aku mencoba menebak dan menduga-duga. Di samping makam bertuliskan "Erna Harjodinata" ada juga makam bernama "Basith Ainul Yaqin". Itu pasti Abinya Mas Hasbi.

"Assalamualaikum Abi, Umi," salamku. Ini adalah kunjungan pertamaku sebagai menantu. Rasa sedih dan bahagia menyelimutiku. Aku tidak akan pernah merasakan satu rumah dengan mertua. Kebaikannya, atau yang sering orang keluhkan mengenai sikap seorang mertua, tapi aku yakin, mertuaku orang baik. Buktinya ada pada sifat Mas Hasbi.

Makam itu sepertinya sering dikunjungi dan dibersihkan. Terlihat dari taburan bunga yang belum begitu layu dan tidak ada rumput ilalang yang membuat cemong wajah makam. Mas Hasbi berjongkok di antara dua pusara itu.

"Hasbi dateng bawa mantu Abi. Orangnya cantik, tapi plin plan. Penurut, tapi suka bingungan." Dia tukang mengadu.

Dia menceritakan kelebihan sekaligus kekuranganku. "Jangan didengarkan Abi," batinku menimpali.

Aku tertarik dengan satu tanah kosong di samping makam Umi, padahal di sekeliling sudah penuh dengan gundukan tanah. Namun, tanah ini dibiarkan kosong tanpa pusara pasti juga tanpa isi di dalamnya.

Aku ikut berjongkok dan membersihkan debu yang menempel di pusara. Seakan tidak mau membiarkan sesuatu pun mengotorinya.

"Kita berdoa, ya, buat Umi sama Abi," ajak Mas Hasbi. Aku hanya mengangguk.

Mas Hasbi dengan khusyuk melafalkan doa untuk ahli kubur dikhususkan untuk Abi dan Umi. Matanya sampai ia pejamkan. Aku mendengarkan sambil mengamini.

Ammiin.

Kami mengusap wajah bersamaan.

"Udah hampir Magrib, pulang yuk," ucapnya.

Saat kami berdiri, aku tak kuat dengan rasa penasaranku. "Mas," panggilku.

"Kenapa tanah ini dikosongin?" sambungku.

"Itu buat tempat aku nanti," celetuknya.

Aku memandang kembali tanah datar itu. Sebegitu sayangnya Mas Hasbi kepada orang tuanya, sampai ia ingin selalu bersanding dengan mereka. Satu petak tanah yang hanya cukup untuk satu makam. apakah ia mempersiapkan ini dari dulu saat berumur sepuluh tahun?

~~~•~~~

"Besok rencananya Mbak Nura mau ke mana?" tanya Erlin.

"Ngikutin bosnya aja mau ngajak ke mana," jawabku.

Sengaja aku besarkan suara agar Mas Hasbi yang sedang bermain PS dengan Mas Banyu mendengar, tapi dasar laki-laki bila sedang fokus, mau diteriaki sekeras apa juga tidak akan mendengar. Otaknya hanya fokus pada satu kegiatan saja. Berbeda dengan perempuan, bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu.

Perempuan bisa menyapu sambil masak. Bisa menyetrika sambil teleponan. Bisa baca novel sambil dengerin curhatan. Pokoknya perempuan tidak hanya bisa mengerjakan satu pekerjaan di satu waktu, tapi banyak.

"Tapi, Lin. Rekomendasiin tempat-tempat bagus di Jogja, dong," kataku.

"Banyak, Mbak. Kalo cuma seminggu, sih, enggak cukup buat keliling Jogja. Butuh sebulan bahkan lebih," terangnya.

"Ada wisata gua, candi, keraton, nah ... bisa tuh ke alun-alunnya. Uniknya di sana ada dua pohon beringin, entar jalan dari jauh ke arah pohon beringin. Kalo bisa sampe ngelewatin pohon, semua keinginan kita bisa terkabul Mbak," sambungnya.

"Masa, sih?" heranku.

"Mitos," seloroh Mas Hasbi. Mereka sudah selesai bermain game.

"Beneran Mas ... temen aku juga pernah terwujud keinginannya setelah ngelewatin pohon itu," timpal Erlin.

"Tahayul. Kamu pernah buktiin?" tanya Mas Hasbi.

"Belum pernah. Setiap aku coba ngelewatin pohon beringin, pasti jalannya malah ngejauh dari pohon," jelas Erlin sambil tertawa.

Dia ini, kalau cerita selalu tertawa. Belum cerita saja sudah tertawa duluan. Alhasil orang yang mendengarkan ikut tertawa, bukan karena ceritanya, namun karena tawanya yang lucu.

"Jangankan jalan matanya ditutup. Matanya melek aja dia suka nabrak, keseringannya kesandung. Kalo jalan pecicilan, sih." Sekarang Mas Banyu menimpali.

"Seneng, deh, kalo ngecengin Erlin," ujar Mbak Yanu, istri Mas Banyu. Dia baru keluar dari kamar habis menina bobokan Gendis.

"Jangan dibercandain terus adiknya. Kasihan." Dari tadi Bude hanya mendengarkan sambil menonton televisi, kini ikut menimpali.

"Iya tuh ...." Erlin mencibir. "Ganti topik."

"Mbak Nura, kan, suka bikin baju. Baju pengantin yang Mbak Nura pake pas nikahan itu bagus banget loh, Mbak. Entar kalo aku nikah, Mbak Nura yang bikinin baju pengantin buat aku, ya," kata Erlin matanya berbinar.

"Nikah?" kata Mas Hasbi dan Mas Banyu bersamaan, mereka lantas tertawa.

"Kenapa pada ketawa?" tanyaku bingung.

"Nikah sama siapa? Kucing tetangga?" Mas Hasbi masih tertawa geli.

"Ndak cocok kamu pake baju pengantin kaya gitu. Cocoknya pake jarit sama caping." Tak habis-habisnya kedua pria itu memperolok-olok Erlin. Untung Erlin bukan orang yang gampang sakit hati. Jarit itu sejenis kain batik.

Bude dan Pakde hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak dan ponakannya. Seperti sudah memaklumi, bahwa mereka sudah bertingkah seperti itu sedari dulu.

"Jangan keras-keras ketawanya. Entar Gendisnya bangun," ucap Mbak Yanu memperingati.

"Cocok kok. Malahan Erlin bakal nambah cantik pas pake baju pengantin nanti, tapi sekarang Erlin sekolah aja yang pinter," kataku membela.

Erlin merasa semangat ada yang membelanya. "Iya, dong, Mbak, itu pasti. Tapi entar pokoknya bikinin baju pengantin buat aku, ya."

"Insya Allah, tapi enggak janji, ya." Aku tidak mau memberikan harapan, apalagi itu sesuatu yang belum jelas.

"Maksa banget," celetuk Mas Hasbi sambil mengunyah pisang goreng.

"Biarin, weeek." Erlin menjulurkan lidahnya. "Makasih Mbak."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum.

~~~•~~~

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang