45. Ambigu ✓

30 6 0
                                    


Nura

Kudorong pintu kaca bertuliskan 'OPEN'. Toko terlihat sepi, hanya ada beberapa orang pengunjung butik. Wajar saja, ini hari Senin harinya bekerja. Beda dengan hari Sabtu atau Minggu, pengunjung butik sedikit lebih banyak.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarrokatuh," salamku.

Wanita di meja kasir kaget dengan kedatanganku yang dadakan. Aku memang sengaja tidak memberi tahu Ibu kalau mau ke butik.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarrokatuh." Sahut Ibu masih dengan gurat kagetnya.

"Masya Allah, Ra ... bukannya kamu lagi ke Jogja? Kapan pulang? Kok enggak kasih kabar ke Ibu," ujar Ibu beruntun.

"Nyampe Jakarta tadi malem. Nura emang sengaja enggak ngasih tau Ibu. Biar surprise."

Aku merentangkan tangan bersiap memeluk Ibu. Jinjingan kuletakkan sekenanya di lantai. Kami saling berpelukan. Pelukan terhangat adalah pelukan Ibu. Selain pelukan dari suami. Kami merasakan kerinduan yang sama. Aku selalu bahagia berada di pelukannya. Apa pun kegundahan yang aku rasakan akan hilang setelah memeluk Ibu.

"Anak bontot Ibu udah dewasa sekarang. Gimana bulan madunya?"

Aku melepaskan pelukan. "Ibu." Aku malu jika ada yang menyinggung bulan madu.

"Happy, kan?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk. "Mas Hasbi baik banget, Bu. Ngajak Nura jalan-jalan ke banyak tempat."

"Nih Nura bawa oleh-oleh buat Ibu." Aku mengambil beberapa paper bag yang tadi digeletakkan di lantai.

"Ada yang lupa, nih, sama Mbak Laila."

"Mbak Laila." Aku menghampirinya. Sepertinya dia baru keluar dari ruang jahit.

Aku memeluknya. Lama juga tidak bertemu dengannya, karena memang aku jarang datang ke butik.

"Jangan kenceng-kenceng meluknya. Kasihan dedeknya keteken," katanya.

Aku melepas pelukan. "Mbak Laila lagi ngisi?" tanyaku.

Dia mengangguk.

Masya Allah. Akhirnya, Allah mendengarkan doanya. Mbak Laila sangat mengharapkan keturunan dari pernikahannya yang hampir dua tahun ia jalani. Dia selalu ikhtiar dan berdoa serta memasrahkan segalanya kepada Sang Pembuat Takdir. Lantas Allah Yang Maha Pemurah mengabulkannya sekarang. Betapa bahagianya wanita berwajah kearab-araban itu.

"Udah berapa bulan? Lagi ngidam, dong?" tanyaku.

"Jalan tiga bulan. Ngidam apa, ya? Sejauh ini Mbak enggak ngidam apa-apa," katanya. "Ehm ... pengin dedeknya, sih, Ate Nura masakin makan siang. Kan Ate Nura jago masak."

"Siap." Semangatku keluar. "Harus dituruti biar entar dedeknya enggak ngileran."

Mbak Laila sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Ibu juga menganggap Mbak Laila seperti anaknya. Perempuan baik itu adalah anak tetanggaku, dia seorang yatim piatu. Bapaknya meninggal karena penyakit kanker dan ibunya meninggal empat bulan setelah sepeninggal bapaknya. Waktu itu usia Mbak Laila baru menginjak empat belas tahun. Ia hampir putus asa dengan hidupnya. Hidup sebatang kara tanpa ada keluarga. Terpaksa ia berhenti sekolah dan mencoba mencari kerja. Ia meminta pekerjaan kepada Ibu. Tidak diberi pekerjaan oleh Ibu, malah ibu menyuruh Mbak Laila melanjutkan sekolahnya hingga tamat SMA dengan biaya darinya. Setiap pulang sekolah Mbak Laila membantu Ibu di butik. Ibu pun mengajarinya menjahit. Hingga sekarang ia setia bekerja di butik meski ia sudah menikah.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang