60. Ketidaktentraman ✓

48 6 0
                                    

Nura

Aku selalu berharap sebuah masalah akan selesai dalam satu hari kemudian hari berikutnya masalah itu berlalu tanpa jejak. Atau kalau masalah harus selalu ada, aku hanya memohon biarkan kuselesaikan satu masalah setelah itu terserah kalau harus datang masalah lagi. Hm, sebenarnya masalah terbesar di dunia adalah ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah itu sendiri.

Untuk apa masalah terus berlarut kalau ada kata maaf dan memaafkan untuk menyudahinya. Mungkin terlalu munafik ketika bibir mudah memberi maaf, tetapi hati tidak demikian. Akan tetapi, bukankah Allah menjanjikan surga yang luasnya seluas langit dan bumi bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang mampu menahan amarah  serta bagi orang yang memaafkan kesalahan orang lain.

Kakiku tak mau berhenti bergerak seirama dengan kecemasan dalam diri yang sejak tadi menguasai. Ponsel di tanganku kalau punya mulut mungkin akan protes karena terus aku putar-putar, bolak-balik, ketuk-ketuk, pencet-pencet tombol powernya, untung tidak aku banting. Konyol kalau harus melampiaskan keresahan hati pada benda tak bersalah itu.

Aku berdiri dan menyibak jendela ruang tamu ketika mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Namun, harus menelan saliva rasa kecewa, ternyata itu taksi yang sedang menurunkan penumpang tepat di seberang jalan. Ah, Ratih bilang akan ke sini sebelum Ashar. Ini sudah hampir jam empat sore, sudah lewat empat puluh menit sejak azan Ashar dan dia belum datang.

Satu jam yang lalu Ibu meneleponku, dan bagai tersiram minyak panas di kepala, kejadian yang tak ingin kuungkit, masalah yang ingin kusudahi, malah sudah sampai di telinga Ibu. Bukan Ratih yang memberitahunya, tetapi Bunda Jannah yang dengan khusus menelepon Ibu untuk meminta maaf atas apa yang telah terjadi antara aku dan Panji tempo hari.

Lalu dari mana Bunda tahu? Itulah yang ingin kutanyakan pada Ratih, tetapi orangnya belum pulang-pulang sampai sekarang. Untuk waktu yang tidak ditentukan, perempuan manis itu akan menginap di sini. Sebenarnya aku tak tega padanya, gara-gara menemaniku dia harus menempuh perjalanan lebih lama untuk ke kampus. Jarak dari rumah ini ke kampusnya bisa memakan waktu satu jam, tidak tahu kalau jalanan macet, mungkin bisa satu jam setengah baru sampai.

Sekali lagi aku memencet tombol power pada ponsel putihku, mungkin saja ada satu pemberitahuan balasan pesan dari Ratih. Aku menghembuskan napas berat entah untuk yang keberapa kali. Lagi-lagi harus menjadi seorang penunggu. Menunggu seakan sudah menjadi kegiatan wajib selain tidur dan beres-beres rumah. Seperti menunggu tukang sayur lewat atau menunggu kurir datang membawakan paket. Ibu melarangku pergi jauh, jadi kalau aku butuh sesuatu harus meminta tolong Ratih atau harus membelinya secara online.

Menunggu Ratih membuatku mengantuk. Semenjak pulang dari Jogja aku sering tidur di bawah jam sebelas siang lalu dilanjut setelah Zuhur hingga menjelang waktu Ashar. Durasi tidur malam yang akhirnya berkurang, aku tidak akan mengantuk sebelum jam sebelas malam dan akan bangun sebelum jam tiga dini hari.

Aku melirik jam dinding. Terserang kantuk di jam setengah lima sore sungguh keterlaluan. Apa kinerja tubuhku mulai melemah hingga membuatnya harus terus beristirahat. Kurasa itu berlebihan, berlebihan malasnya. Namun, kantukku hilang tatkala mendengar bunyi pengait pagar dibuka. Mungkin saja itu Ratih, tapi mobilnya? Aku tidak mendengar suara mobil. Ah, mungkin dia pulang dulu ke rumah lalu meninggalkan mobilnya dan ke sini naik angkutan umum. Mungkin saja.

Aku hampir lari kalau tidak ingat sedang hamil. Sejauh ini aku belum terbiasa dengan perubahanku sebagai seorang ibu hamil. Biasa ... otak ini terlalu lamban merespons perubahan. Knop pintu perlahan kubuka. Alisku bertautan dan bibirku menipis karena bukan Ratih yang datang.

"Assalamualaikum, Mbak Nura. Mau jajan ndak, Mbak?" tawar Mak Kulsum lembut dengan logat kejawa-jawaan. Dia adalah penjual makanan langganan Eyang. Hampir setiap sore Mak Kulsum datang menawarkan dagangannya.

"Bawa jajan apa, Mak?" tanyaku, padahal aku sudah tahu apa saja yang setiap hari ia bawa.

"Kaya biasa, Mbak. Singkong rebus, ubi, jagung sama ada kacang rebus." Mak Kulsum menurunkan keranjang belanjaan di lantai yang ia fungsikan untuk meletakkan dagangannya.

"Taruh sini aja, Mak." Aku menunjuk meja. Mak Kulsum terlihat sungkan untuk mendekat, dengan sedikit paksaan, ia pun menurut lalu menaruh keranjangnya ke atas meja yang sebelumnya melepaskan sandal jepitnya di bawah undakan keramik. Wanita yang kutahu berumur lima puluh tahun itu pun kusuruh duduk. Dia sepertinya lelah, terlihat dari beberapa bulir peluh di keningnya. Dagangannya juga masih banyak, padahal katanya dia biasa berkeliling mulai pukul sepuluh pagi.

"Saya mau jagung rebusnya dua. Ehm ... sama kacangnya dua bungkus." Aku ingat Ratih suka kacang jadi sekalian saja dibelikan.

Sambil membungkus makanan, Mak Kulsum bertanya, "Mbak Nura, gimana kandungannya, sudah di-USG?"

Ejaan USG-nya salah, bukan seperti huruf yang berdiri sendiri, tetapi digabung menjadi "UWESGE" dan itu sontak membuatku tersenyum. "Udah, Mak. USG-nya lagi entar pas udah enam bulan. Tiga bulan lagi." Keberadaan Mak Kulsum sedikit menghilangkan kegusaranku sekaligus mengalihkan pikiran-pikiran kacau dalam otak.

"Oh, ngono. Dulu jamannya saya hamil enggak usah USG-USG-an juga persalinan lancar, normal lagi lima-limanya. Tapi sekarang harus, ya?" Mak Kulsum menyerahkan kantung kresek kepadaku. Sering timbul rasa kagum setiap melihat semangat serta kesederhanaannya. Bertahun-tahun hidup sebagai single parent beranak lima selalu dijalaninya dengan tabah. Rasa syukur dan cukup membuatnya bertahan di kerasnya kehidupan ibu kota. Mampukah aku menjadi orang tua tunggal tangguh sepertinya?

"Saya juga enggak tau. Ya, mungkin buat cek kesehatan sama kondisi bayi, Mak," kataku.

"Perempuan hamil muda itu harus menjaga makannya, jangan capek-capek, terus juga harus sering zikir biar hatinya tenteram," kata Mak Kulsum. Dia seakan tahu kalau aku sedang mengalami ketidaktentraman hati. Aku hanya menimpalinya dengan anggukan. Mak Kulsum berdiri dan bersiap menenteng keranjang dagangannya. "Ya sudah, ya. Saya mau keliling lagi biar nanti Magrib bisa pulang."

Tidak pernah aku mendengarnya mengeluhkan dagangannya yang belum laku ataupun hidupnya, itulah kelebihannya. Aku menyerahkan uang lima puluh ribuan. "Kembaliannya ambil aja, ya, Mak. Makasih."

"Masya Allah. Matur suwun, Mbak Nura. Semoga dibalas sama Gusti Allah dengan kebaikan."

Setelah mengamini dan menatap kepergian Mak Kulsum, aku kembali masuk lalu ke dapur untuk membuka kulit jagung. Benar kata orang, dikala hamil frekuensi lapar akan meningkat karena ada dua orang yang harus dicukupi kebutuhan konsumsi serta nutrisinya.

Tak berselang lama aku mendengar bunyi bel. "Ratih," pekikku.

Terlalu lama menunggunya membuat segala kalimat yang sudah kurangkai di otak melebur. Setelah mengobrol sebentar dengan Mak Kulsum juga membuyarkan segala persiapan untuk menyidang Ratih. Biarlah, nanti otodidak saja, yang penting orangnya sudah ada di sini.

Aku membuka pintu dengan sedikit tenaga. "Waalaikumsalam, kamu utang penjelasan, Ra—"

Bukan Ratih, yang muncul di hadapanku malah sosok orang lain. Dan ... ketidaktentraman hatiku muncul lagi

~~~•~~~

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang