46. Undangan Krem ✓

43 4 0
                                    


Panji

"Panji, apa-apaan, sih, lo?" teriak Jessica.

Aji terjungkir setelah mendapat bogem mentah dariku. Setan memang akan selalu menghiasi keburukan dengan keindahan. Pengalaman seru kata dia? Konyol. Aji memegangi pipinya yang membiru. Ia berusaha bangkit. Jessica ingin membantu, tapi ia urungkan. Terlihat serba salah dia.

"Kenapa, sih, lo, Nji? Gue salah apa sama lo?" tanya Aji.

"Lo enggak salah sama gue, tapi apa yang lo lakuin itu enggak pantes. Walaupun yang kalian lakuin suka sama suka. Tetep aja gue enggak suka. Gue enggak terima kalian takluk sama nafsu bejat. Zina itu dosa," serangku.

Aji duduk menyandar di kursinya. Sedangkan Jessica berkacak pinggang sedang tangan satunya memegangi kening. Mereka sungguh membuatku muak.

"Udah salah kaprah ngegas lagi," seloroh Aji.

Kudengar Jessica tertawa, tidak tanggung-tanggung dia terbahak-bahak.

"Siapa yang zina, Nji?" kata Jessica. "Kita itu main mobile legend, Panjul. Mabar. Ngerti enggak lo?"

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali. "Sialan lo, gue kena prank. Lagian dari tadi omongan lo absurd parah tau enggak, sih."

"Pikiran lo yang absurd kali," tukas Jessica.

"Tau ah." Aku duduk kembali.

Teman-teman sejawat mulai berdatangan masuk. Ini sudah hampir jam tujuh rupanya. Sepagi ini aku sudah mengotori tangan dan pikiranku dengan kejahatan.

"Kayanya gue harus di-opname, deh. Lo harus tanggung jawab, Nji," celetuk Aji.

"Lebay lo." Jessica mendorong roda kursi Aji dengan kakinya.

"Sebenernya lo lagi kenapa, sih, Nji? Akhir-akhir ini lo keliatan uring-uringan tau enggak?" tanya Aji setengah berbisik. Agar orang lain tidak mendengar mungkin, atau karena menahan perihnya pipi bekas tonjokan.

"I'm fine," kataku tak menghiraukan.

Entah apa yang aku rasa akhir-akhir ini. Ketidaktenangan selalu menyerang. Namun, aku harus yakin dengan segala sesuatu yang ada pada hidup terutama keputusan-keputusan yang kuambil.

Aku mengubek-ubek tas lantas menyodorkan undangan berwarna krem. "Dateng, ya."

"Undangan siapa? Lo jadi mau nikah?" tanya Jessica.

"Jadilah," singkatku.

"Iklasin yang kemarin. Galaunya cowok itu sebentar kalau udah ada gantinya, Nji. Tenang, move on-nya bakal sukses." Aji mengerlingkan matanya.

"Apalagi gantinya cewek semanis dan seanggun Dina. Enggak tunggu lama, lo bakal langsung takluk," cerocos Aji.

"Enggak usah muji-muji dia. Dia enggak butuh pujian dari pria lain," tukasku.

"Wiiis, posesifnya Panji keluar." Aji bertepuk tangan.

"Kayanya pipi kiri lo masih bagus. Mau gue tonjok lagi?"

"Eits ... jangan, ganteng gue turun harga entar," kilatnya.

"Ganteng juga enggak lo," timpal Jessica.

"Gini-gini gue banyak yang nglirik, Bu," bela Aji.

"Nglirik sinis," sambungnya.

Kami tertawa. Dasar kadal semak. Dia tertawa tanpa menghiraukan nyeri di pipinya. Aku menciptakan sejarah dalam pertemanan kami. Satu pukulan akibat salah paham. Hebat.

~~~•~~~

Nura

Hendel pintu kuputar dan terbukalah pintu dengan menampilkan satu sosok cantik yang ... kok, bisa ke sini? Tahu dari mana rumahku?

"Mbak Dina?" kagetku.

"Gimana kabar kamu, Ra? Lama enggak ketemu," ujarnya.

Kami saling bersalaman dan cipika-cipiki

"Alhamdulillah, baik. Mbak Dina sendiri gimana kabarnya? Masuk, yuk, Mbak."

Aku melebarkan pintu dan mempersilakannya masuk.

"Alhamdulillah, baik. Ya ... gini aja, Ra. Kaya biasanya."

"Silakan duduk, Mbak," titahku. "Nura ambil minum dulu, ya."

"Enggak perlu repot-repot, Ra. Aku enggak lama, kok," katanya.

"Enggak repot, Mbak, jangan sebentar, harus lama. Mbak Dina, kan, pertama kali main ke sini," ujarku. "Oh iya. Mbak Dina tau alamat Nura dari siapa?"

"Kak Panji," jawabnya.

Oh iya, dia, kka,ncalon istrinya Panji. Beruntung Panji memiliki calon istri sesaleha Mbak Dina. Tutur katanya lembut, murah senyum dan dia perempuan cerdas. Dari tadi saja dia tidak lepat dari senyumnya. Panji bisa diabetes kalau setiap hari disuguhkan senyum manisnya. Bikin lumer.

Aku meninggalkannya sebentar untuk membuatkannya minum dan kembali dengan segelas sirop jeruk dan sestoples kue kacang.

"Di minum, Mbak. Cobain juga kuenya." Kuletakkan gelas minum serta stoples kue di atas meja.

"Kue kacang?"

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Bikin sendiri, Ra?"

"Iya."

Dia memakan satu kue. "Enak banget, Ra."

Berlebihan, semua kue kacang rasanya sama, rasa kacang. Mustahil kalau rasa nanas.

"Ajarin aku bikin kue kacang seenak ini dong, Ra."

Aku cengegesan. "Cieee. Buat suami, ya," godaku.

"Dia paling suka kue kacang, kan, Ra?" tanyanya.

"Suka banget. Terus dia itu gaya banget. Enggak mau beli kue kacang di luar. Maunya dibikinin sama Bunda. Malahan sering nyuruh Nura buat bikinin," celotehku.

"Tapi kira-kira kalau kue buatan aku dia bakal suka enggak, ya?"

"Sukalah, Mbak, kan, buatan istri." Aku menekan sebutan istri.

Dia tersenyum malu.

"Oh, iya, ini undangan buat kamu. Jangan lupa dateng, ya."

Aku menerima undangan berwarna krem dengan desain simpel. Panji pernah berkata, saat menikah, dia tidak mau acara yang mewah dan ribet. Inginnya hanya acara sederhana yang penting bersanding dengan perempuan halalnya. Lantas ternyata perempuan halalnya nanti adalah Mbak Dina.

~~~•~~~

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang