Panji
Ke mana anak itu?
Katanya mau menunggu di depan masjid. Apa sudah pulang duluan? Atau masih di atas. Tidak mungkin, tumben sekali kalau dia masih betah di masjid. Biasanya saja gadis bertubuh mungil itu selalu memaksa untuk cepat pulang. Ah, dia selalu membuatku khawatir.
Aku sedikit menetralkan jantung yang sedikit berlebihan degupannya semenjak datang ke sini. Ada yang ingin dibicarakan serius dengan gadis itu. Masalahnya, apa dia akan menanggapinya dengan serius juga? Mengingat, dia orangnya susah diajak serius. Nura itu tipe orang yang damai plus santai, sesantai guratan senyumnya yang tidak pernah memudar.
Ponselku berbunyi, ada notifikasi pesan masuk. Aku sedikit bernapas lega. Ternyata peri norak yang mengirim pesan.
Aku hampir tersedak air liur sendiri saat membaca pesannya. Tumben sekali dia meminta pulang sehabis salat Isya. Wah, kemajuan signifikan untuk seorang Nura. Biasanya dia akan terus mengirimiku pesan jika lima belas menit setelah salam salat tidak muncul di depan masjid. Fenomena ini sangat jarang terjadi. Apa jangan-jangan sesuatu terjadi dengannya? Apa dia sedang menangis?
Apa-apaan pikiranku ini. Dari tadi dia baik-baik saja. Banyak-banyak kuucap istigfar, pikiranku terlalu berlebihan berprasangka buruk.
Lima belas tahun bersahabat dengannya sedikit banyak membuatku tahu tentang gadis penyuka bunga matahari itu. Dia memang gadis ceria. Ketika melihat wajahnya seakan-akan tak pernah merasakan beban hidup. Dia sangat pintar membalut kesedihan dengan senyum ciptaannya.
Sepertinya kepalaku harus diguyur air wudu agar segala prasangka luntur dari pikiran. Aku pun berbalik menuju tempat wudu.
Setelah salat Isya, aku langsung beranjak keluar. Niat hati mau mengirim pesan ke Nura, ternyata pandanganku menubruk sosoknya yang sedang duduk di pelataran masjid.
"Tadi kayanya ujan geledek, ya? Apa hidayah udah nyangkut ke sosok peri norak." Aku bergegas duduk di sampingnya. Itu kebiasaanku dan dia selalu kaget jika secara tiba-tiba duduk di dekatnya. Namun, ternyata gagal untuk kali ini.
Sering aku meledek dengan memanggilnya peri norak, karena dia sering duduk di kursi kecil di halaman rumahnya dengan dikelilingi bunga-bunga matahari. Lalu dia bertingkah seperti ratu yang mendongeng untuk peri-peri. Norak sekali imajinasinya.
Nura menoleh sebentar ke arahku. Pandangannya beralih ke langit. "Emang? Enggak, kok. Enggak ujan, Panji. Kuping Panji bermasalah kayanya. Dari tadi Nura di atas enggak denger suara petir. Lagian hidayah siapa lagi coba pake acara nyangkut," timpalnya. Dia kembali fokus menali sepatu.
"Hidung kamu kenapa merah gitu?" tanyaku penasaran.
Gadis itu langsung memegang hidungnya. "Masa, sih, merah? Oh iya, tadi abis Nura garuk, gatel soalnya."
"Kamu kebanyakan komedo, sih," candaku. Tapi aku tahu, dia bohong. Hidungnya akan memerah hebat saat dia menangis.
"Enak aja. Nura enggak komedoan, ya," sanggahnya sambil berdiri. "Ayo pulang. Nura udah melewati batas jam pulang. Nanti pasti kena omelan Ibu."
Aku sedikit kaget. Pasti dia sudah lupa kalau aku mengajaknya ke sini dalam rangka pembicaraan serius. Tapi sepertinya belum pas waktunya. Sudah malam juga. Nura adalah anak rumahan yang jarang keluar malam. Jangankan keluar malam, pulang selepas magrib saja dia langsung disidang Bu Ane—ibunya.
"Naik apa?" Malah itu yang keluar dari mulutku.
"Naik angkot lah. Masa bonceng Panji. Kan enggak boleh," tukasnya.
Bukan tidak bertanggung jawab, tapi ada batas antar laki-laki dan perempuan balig, 'kan? Ya, jadi aku hanya mengekor angkot yang dinaiki Nura. Dan memastikan dia sampai rumah dalam keadaan selamat.
Tak berselang lama kita sampai di rumah Nura. Rumah bergaya sederhana, tapi ramai dengan berbagai jenis tanaman. Keunikan dari taman depan rumahnya itu adalah, di sudut sebelah timur berjejer bunga-bunga matahari yang tengahnya di beri kursi kecil. Itu kursi Nura saat masih TK dulu, tapi difungsikan sampai sekarang. Setiap pagi sebelum sekolah, dia akan duduk di situ. Katanya, sih, ingin menemani bunga-bunga mataharinya berjemur. Berceloteh riang tentang banyak hal yang dia alami.
Entah mengantuk atau ceroboh, saat turun dari angkot, kepala gadis itu terbentur bagian atas pintu angkot. Tawaku hampir pecah melihat insiden itu. Sifat polosnya sering membuatku tertawa, kadang juga bikin kesal.
"Bapak! Pintu angkotnya kependekan," omel Nura. Bagaimana bisa dia menyalahkan angkot. Jelas-jelas dia yang tidak menunduk ketika turun.
Dia masih memegangi jidatnya. "Panji, langsung pulang aja sana. Lagian di rumah enggak ada siapa-siapa. Ibu juga lagi jagain Ayah di rumah sakit.” Nura membuka pintu pagar yang tingginya hanya sebatas dada.
Tiga hari lalu kondisi kesehatan Pak Kutbi menurun drastis. Kebetulan hanya Nura yang menemaninya, sedang Bu Ane pulang untuk mengurus keperluan. Dia meneleponku untuk segera datang ke rumah sakit. Dari suaranya memang terdengar biasa saja, tapi aku menebak kalau dia sedang mengalami kepanikan tingkat tinggi. Bisa dibilang aku seperti panggilan pelayanan darurat, sebab dia akan langsung menghubungiku saat dia berada dalam kondisi terdesak.
"Ok. Kamu masih nyimpen nomor kontak aku, ‘kan? Hubungi aku sesering mungkin, ya. Takut kamu amnesia gara-gara kejedot pintu angkot." Aku tertawa juga akhirnya.
Dia ikut tertawa, "masa kejedot pintu aja bisa nyampe amnesia. Udah buruan sana, udah malem."
Bukankah tidak baik berlama-lama dengan perempuan yang belum halal? Jadi, kuputuskan segera pulang.
~~~•~~~
Nura
Aku merutuki diriku sendiri. Kenapa aku terlalu pendek, hingga kotak di atas lemari saja tak tergapai. Astagfirullah, itu sama saja aku tidak bersyukur dengan ciptaan Allah. Ibu sih, kenapa di taruh di situ kotaknya. Aduh, kenapa malah menyalahkan Ibu. Berarti lemarinya yang terlalu tinggi. Sama saja aku menyalahkan tukang lemarinya, sama saja aku tidak bersyukur juga dengan ciptaan Allah.
Ternyata mengeluh bukan solusi terbaik, malah membuat segala sesuatunya menjadi runyam.
Kesampingkan dulu perkara syukur. Sekarang, yang harus dilakukan adalah berusaha untuk meraih kotak yang ukurannya cukup besar itu dari sana. Aku hampir jatuh jika tidak menjaga keseimbangan, untung kakiku langsung menumpu badan dengan kuat. Akhirnya, aku bisa turun dengan selamat.
Aku teringat sesuatu, "Bukankah tadi Panji mau ngomong serius sama Nura. Kenapa jadi lupa, ya?" Ya Allah, kasihan Panji, setiap ingin bercerita sesuatu yang berbau-bau serius pasti tidak kutanggapi.
Kubuka kotak berdebu itu. Kain-kain yang membuat Ibu sering bawel agar aku memakainya. Panji yang sering memojokkanku tentang perkara hidayah, dan sekarang tekatku.
Tak begitu buruk. Pantulan wajahku di cermin meningkatkan hormon endorfinku. Aku bahagia. Meski masih terlihat aneh dengan perubahannya.
Sebenarnya kenapa dari dulu aku belum mau berhijab karena aku takut perubahan. Otakku terlalu lamban untuk menerima proses-proses sesuatu yang berbeda. Apalagi itu perubahan yang menyangkut diri. Mungkin aku terlalu asyik berada dalam zona nyaman.
Namun, Allah menegur langsung dengan ayat yang kubaca sewaktu di masjid kemarin. Bahwa aku harus menjaga diri dan keluargaku dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. Bagaimana aku bisa menjaga keluarga jika menjaga diri sendiri saja belum mampu? Yang lebih mengerikannya lagi, bagaimana jika aku yang menjadi bahan bakar api neraka? Tak terbayangkan panasnya bara api neraka yang menyala-nyala, panas kompor saja bisa membuat tangan gosong, apalagi panas jahanam. Terkena minyak panas saja tanganku hampir melepuh apalagi menjadi bahan bakar api neraka yang terus menerus dipanaskan.
Nauzubillah. Ya Allah! Aku takut.
Aku tidak mau menjadi pembangkang. Ya, Akan kumulai dari sekarang.
Berubah menjadi Muslimah yang menjaga kehormatan.
~~~•~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...