Nura
Adakah yang pernah mengunyah biji mahoni tanpa meminum air setelahnya? Ya, teramat pahit dan tak berkesudahan. Mengecap lidah untuk sekadar menelan saliva hanya akan memperjelas rasanya. Seperti rasa sakit yang aku alami sekarang, mencoba keluar dari kesakitan yang lalu malah membentur kesakitan yang baru.
"Assalamualaikum, Ra." Aku mengenali suara orang di balik pintu. Itu suara perempuan, bukan suara pria keterlaluan yang beberapa menit lalu mengucapkan kata-kata tak pantas kepadaku.
"Ratih! Tolong suruh dia pergi dari sini." Teriakku. "Nura enggak mau ketemu dia lagi!"
"Dia udah pergi, Ra. Tolong buka pintunya." Aku mendengar nada khawatir dari suaranya. Akhirnya, aku membuka pintu dan langsung memeluknya. Menangis sejadi-jadinya. Entah masih berapa liter lagi pasokan air di dalam mataku.
"Tenang, ya, Ra. Jangan takut." Jelas, pasti dia merasakan ketakutan dalam diriku. Badan ini masih gemetar karena menahan amarah, bibirku tak kalah gemetar karena sudah berteriak kencang dan berkata kasar. Sepanjang hidup, aku belum pernah semarah ini. Setelah sedikit merasa tenang, Ratih menuntunku ke kamar.
Kekhawatiran Ratih membuat tingkat perhatiannya kepadaku meningkat. Saat ini dia menawariku berbagai macam menu masakan dan dengan rela hati akan memasaknya spesial untukku. Mulai dari tumis kangkung, sayur bayam, sambal kentang, orek tempe, semur jamur dan segala opsi lain disebutnya. Entah ia bisa memasaknya atau tidak menu itu. Sebab, aku tahu betul bahwa Ratih tidak terlalu bisa masak dan tidak berminat untuk belajar memasak. Ralat, belum mau belajar memasak. Mungkin saja pikirannya terbuka untuk belajar.
"Semur ayam, apa Semur tahu? Oh, gue tau ... semur jengkol?" Dia masih terus berusaha menawariku.
Aku hanya menggeleng sambil membetulkan posisi duduk menyandar ke kepala ranjang. Badanku sedikit merasakan pegal, terutama di pinggang sampai betis. "Nura lagi enggak pengin makan, Tih."
Aku sempat heran kenapa Ratih tiba-tiba datang ke rumah. Seingatku, aku belum memberitahunya kalau sudah kembali dari Jogja. Usut punya usut, ibuku yang memberitahunya. Ibu meminta tolong kepada Ratih untuk menemani karena aku sendirian. Sebelumnya Ibu menawariku untuk tinggal bersamanya. Namun, aku menolak, karena tidak mau jauh dari bunga matahariku.
Klise, tapi itu sangat berarti bagiku. Rumah ini adalah tempat terakhir pertemuanku dengan dua pria spesial dalam hidupku. Rumah ini menjadi waktu dan kenangan terakhir bersama mereka. Bunga matahari pemberian mereka menjadi simbol bahwa Ayah dan Mas Hasbi pernah hidup untukku. Aku tidak akan meninggalkan rumah ini. Kalau pergi dari sini, sama saja aku telah menghapus segala kenangan yang telah kulalui bersama dua priaku itu.
"Harus makan, lo belum makan dari pagi, Ra." paksanya.
Aku menghela napas panjang. Bagaimana bisa nafsu makan kalau pikiranku masih menangkap dengan jelas segala qadarullah hari ini. Ditawarinya makan malah membuatku mual.
"Sayur asem, ya." Dia menawarkan menu itu dengan semangat. "Tapi ... kayanya ponakan gue lagi pengin makan sayur sop, jadi gue mau masak itu aja."
Dia keluar dari kamar. Belum selesai menutup pintu, perempuan berdagu lancip itu masuk kembali. "Lupa bawa Hp, buat cari resepnya." Dia meringis. Ada-ada saja tingkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...