Nura"Singkat cerita, sang raja memeluk ratu dengan erat untuk menghilangkan ketakutannya akan sebuah kehilangan. Raja enggak mau kehilangan ratunya, hingga akhir hayat mereka selalu bersama."
Aku tersenyum. Bunga-bunga matahariku juga seperti sedang tersenyum kepadaku. Kami sedang menikmati sinar mentari pagi sambil mendengarkan dongeng dariku. Mendapat sinar matahari pagi di tengah musim penghujan adalah anugerah tak terbantahkan dari Yang Mahakuasa. Segala limpahan nikmat Allah berikan kepada hamba-Nya, tapi sedikit sekali manusia yang bersyukur. Sekarang bungaku bukan hanya satu, Mas Hasbi membelikan beberapa bibit bunga untuk menemani bunga dari Ayah yang kesepian.
Bunga-bungaku juga sudah minum dan mandi. Tadi sudah aku sirami, pasti mereka sudah merasakan kesegaran sekarang.
Eyang keluar dan duduk di kursi teras sambil membawa secangkir teh dan buku. Pasti itu buku hadis. Di waktu luang, Eyang sering mengisinya dengan membaca buku-buku islami, kadang juga menonton ceramah lewat Youtube. Eyang selalu memanfaatkan waktu luangnya dengan sesuatu yang bermanfaat.
Terasa getaran di paha. Dengan kilat aku menjamahnya. Kutarik benda pipih dari kantong gamis. Ada telepon. Di layar terpampang nama Ibu.
"Halo. Assalamualaikum, Ibu," sapaku.
"Waalaikumsalam, Ra. Mbak Nara lahiran hari ini. Ayo ke rumah sakit," kata ibu.
Sepertinya Ibu menelepon sambil mengerjakan sesuatu karena suaranya kadang dekat kadang jauh, kadang keras, terus kecil. Bukannya perkiraan Mbak Nara lahiran bulan depan. Kenapa bisa maju?
"Lahirannya di rumah sakit mana, Bu?" tanyaku.
"Rumah sakit tempat Mas Damar kerja. Ya udah, ya. Ini Ibu lagi siap-siap mau ke sana. Entat kalo udah nyampe kabarin. Nomor kamarnya entar Ibu SMS aja. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Siapa yang lahiran, Ra?" tanya Eyang. Kaca mata bacanya sedikit ia turunkan dari hidung.
"Mbak Nara, Eyang. Kemarin katanya prediksi lahirannya bulan depan. Eh ... ini malah udah di rumah sakit. Nura mau ke sana ya, Eyang," kataku.
"Ya sudah, ayo Eyang ikut."
Kami pun siap-siap di kamar masing-masing. Untuk kali ini kami akan ke rumah sakit naik taksi. Jangan naik metromini. Kasihan Eyang kalau harus kuajak naik metromini. Repot nanti kalau ada acara kesasar gara-gara naik angkutan berkernet itu. Jangan mengambil risiko. Karena aku juga belum pernah ke rumah sakit tempat Mas Damar bekerja.
Sekitar 35 menit naik taksi, kami sudah sampai di rumah sakit. Setelah beberapa kali bertanya ruang jeruk, yaitu ruang rawat ibu-ibu melahirkan, akhirnya kami menemukannya. Anak Mbak Nara sudah lahir satu jam yang lalu. Katanya, bayinya perempuan. Pasti cantik sekali bayinya. Ibunya saja cantik, walaupun sedikit galak.
Kami datang di waktu yang tepat. Ini memang waktunya jam besuk pasien. Jadi, kami tidak perlu menunggu. Di dalam sudah ada Ibu, Mas Ardan dan Mbak Herra serta Nafi'.
"Assalamualaikum," ucapku dan Eyang bersamaan.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarrokatuh," jawab mereka serempak.
"Oh, sama Eyang kesininya," kata Ibu sambil menyalami Eyang dan cipika-cipiki khas wanita.
"Sehat, Eyang?" tanya Ibu.
"Alhamdulillah, sehat. Gimana Eyang enggak sehat, orang yang mengurus Eyang telaten banget," ujar Eyang.
Ah, Eyang bisa saja. Jadi, pengin senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpirituellesHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...