14. Kebimbangan ✓

78 16 0
                                    

Nura

Selepas dari kampus Ratih, aku tidak langsung pulang. Masih ingat dengan masjid cantik dengan ukiran kaligrafi indah di cekungan kubahnya? Sekarang aku ingin menyapanya dan salat Ashar di sana. Tempat yang menjadi wasilah untukku dalam berhijrah. Seperti namanya Al Hidayah, aku menemukan hidayah di sana, terus hidayahnya nempel terus ikut pulang.

Untuk sampai di sana harus naik metromini. Tak perlu menunggu lama, kendaraan umum berbentuk balok itu sudah ada. Aku pun langsung masuk ke dalam lahapannya. Sepertinya aku harus menelepon Panji untuk ke masjid bersama. Soalnya nanti setelah menikah, pasti kami akan jarang pergi ke masjid-masjid indah berdua.

Panggilannya tersambung, tapi tidak diangkat-angkat. Ke mana anak itu, tidak biasanya lama mengangkat telepon dariku. Kata Panji, dia akan selalu siaga jika aku hubungi. Kira-kira dia sedang sibuk apa, ya, sampai tidak mengangkat panggilanku?

Ini kali keempat aku mencoba menelepon Panji. Alhamdulillah diangkat.

"Assalamualaikum, Panji ...." salamku dan langsung dijawab olehnya di seberang sana. Tapi nada suaranya seperti lemah.

"Panji abis bangun tidur, ya? Lemes banget kedengerannya," tanyaku.

"Enggak. Ada apa, Ra?" jawab Panji. Singkat sekali omongannya. Tumben, biasanya saat aku telepon, baru diangkat saja sudah jail.

"Ke Masjid Al Hidayah, yuk. Nura udah di jalan, nih, mau nyampe masjid. Panji nyusul, ya," ucapku.

"Sorry, Ra. Aku enggak bisa. Ehm ... aku lagi sibuk ngerjain tugas skripsi. Udah dulu, ya, assalamualaikum," tutupnya. Kenapa terdengar gugup begitu. Dia memutuskan sambungan secara sepihak.

Ternyata Panji sedang sibuk. Sudahlah, aku ke masjid sendiri saja. Yang penting tidak tidur biar tidak akan kelewatan turunnya.

Pas sekali. Ketika turun dari metromini, azan berkumandang. Sekarang aku harus percaya diri untuk masuk masjid sendirian. Lagipula, aku sudah memakai jilbab jadi tidak terlalu malu.

Setelah selesai menunaikan salat Ashar berjamaah, aku mengambil Al Quran bersampul hijau yang dulu pernah kubaca. Bertadarus sebentar lalu membaca artinya. Aku tertarik dengan satu ayat yang sering orang katakan. Namun baru pertama kali aku lihat langsung di Al Quran. Karena memang aku hanya membaca arabnya dan jarang sekali membaca artinya.

Ya, aku yakin Mas Hasbi adalah orang baik. Maka dari itu aku harus menjadi orang yang baik. Tidak boleh ragu dengan keputusan yang sudah dipilih, dan ingat, keragu-raguan itu datangnya dari setan. Insya Allah, dia adalah lelaki yang telah Allah ciptakan untukku. Aku bertambah yakin dengan pernikahan ini.

~~~•~~~

Sebelum pulang, aku ingin mampir dulu ke kafe langgananku. Ternyata kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari Masjid Al Hidayah. Jadi, aku memutuskan berjalan kaki sekalian menikmati udara sore.

Dari dulu, walaupun sering ke kafe bernuansa hitam kuning itu, tapi tidak pernah tahu bahwa tak jauh dari situ ada masjid seindah Masjid Al Hidayah. Dasar, terlalu cuek dengan sekitar. Aku baru tahu setelah diajak Panji ke sana. Memalukan.

Aku membuka pintu kafe yang terbuat dari kaca. Kafe ini seperti transparan karena temboknya hampir semuanya menggunakan kaca. Aku menuju kursi paling ujung di dekat kaca. Aku suka duduk di sini, mata bisa dengan leluasa melihat jalanan serta kendaraan yang berlalu lalang. Alasan kenapa suka di pojok juga karena tepat di samping kursi ada satu pot bunga matahari yang kuperkirakan sengaja diletakkan oleh pemilik kafe. Jadi seperti duduk ditemani bunga matahari sambil menikmati cokelat panas kesukaanku.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang