PanjiHidayah berhak diperoleh setiap makhluk tanpa terkecuali. Namun, hidayah bukan hanya ditunggu kehadirannya, tetapi dijemput serta mendekati pemberi hidayah itu sendiri yakni Allah. Yang menjadi pertanyaannya, sudahkah kita meminta dan mendekat kepada Allah, Sang Maha Pemberi Rezeki? Sudahkah kita mengemis cinta Allah selain mengemis cinta sesama makhluk? Ah, kurasa aku pun belum sepenuh hati mengemis cinta dari Tuhanku, kadang kala aku hanya mendekati Allah ketika membutuhkan legitimasi-Nya atas segala keinginanku.
Tak pelak, aku akan memberikan beribu-ribu ucapan salut kepada seorang wanita dari garis keturunan Tionghoa yang selalu bangga dengan kartu kewarganegaraan Indonesianya. Yang tanpa kuduga sikap keras kepala serta sedikit sifat arogan akhirnya luluh dalam pelukan Islam. Belum deklarasi, sih. Baru belajar mendalami hukum, tata aturan dan adab Islam. Siapa lagi kalau bukan Jessica—HRD-ku yang selalu terobsesi datang paling pagi ke kantor.
Aji menyanggupi untuk mengajari dan mencarikan Jessica pembimbing. Malam ini job pengujian keuangan PT Dwi Bagaskara sudah aku dan tim rampungkan, dan alhamdulillah tepat waktu. Beberapa hari ke depan pekerjaan di kantor tidak sepadat sepuluh hari belakangan. Jadi, aku bisa pulang normal seperti pekerja kantor pada umumnya, di samping itu Aji pun bisa menjadi Murobi dadakan. Kemampuan ilmu agamanya saat mengambil mata kuliah tarbiah akan dipraktikkan kepada Jessica.
Aku akan mengakui ilmu Aji kalau dia mendoakan agar ibu kota Indonesia sembuh dari penyakit menahunnya. Macet. Sungguh, dengan doa dan ikhtiar dari seluruh penduduk Jakarta, kemacetan akan sirna. Doa saja dulu, dikabulkannya entah kapan, yang terpenting percaya kepada Allah. Aku menautkan jari-jari tangan, mendorongnya sampai terdengar bunyi sendi jari gemeletak saking pegalnya. Lampu merah masih dua puluh lima detik lagi, lumayan bisa sebentar memisahkan tangan dari setang. Nanti saat sarung tangan dibuka kupastikan cekungan antara ibu jari dan telunjuk merah parah.
Pernah kukatakan, bagi auditor jam sembilan malam itu masih terbilang sore, ketentuan itu berlaku di jalan raya. Sekarang hampir tengah malam tapi kendaraan masih saja padat merayap. Arah Sudirman-Casablanca-Kampung Melayu memang biangnya macet. Hampir satu jam aku melajukan motor dengan kecepatan rendah karena kendaraan yang mengular, dan hal itu tentu saja membuat tangan pegal menahan beratnya motor. Belum lagi sering berhenti saking macetnya, kakiku harus menahan beban motor ber-cc besar.
Untung tidak setiap hari merasakan kemacetan saat berangkat atau pulang kantor. Dari rumahku di daerah Pramuka ke Sudirman biasanya lewat jalan Diponegoro–Imam Bonjol–HI. Kebetulan saja hari ini harus membuntuti Jessica pulang ke apartemennya di kawasan Tebet, bukan karena merangkap sebagai bodyguard-nya Jessica, bukan, aku harus mengambil berkas yang terbawa olehnya. Aku pun harus bersyukur, berkasnya tidak terbawa ke rumahnya di daerah Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Bisa-bisa aku sampai rumah lebih dari jam dua belas malam.
Fiuh.
Sampai rumah dalam keadaan selamat adalah anugerah dari proteksi Allah. Setelah memarkirkan motor di bagasi, aku bergegas masuk rumah dengan kunci duplikat. Dari dulu memang memegang kunci cadangan, selain karena tak menentu jam pulangnya, juga supaya tidak merepotkan Bunda untuk membukakan pintu. Sambil berjalan ke kamar, aku iseng membuka ponsel yang sudah beberapa hari bermode hening.
Knop pintu kamar mandi perlahan bergerak dan pintu pun terbuka. Jelas sekali terlihat kalau Dina kaget melihatku tiba-tiba sudah ada di kamar dan sedang duduk di pinggir kasur. Ditambah lagi mataku yang fokus terarah ke matanya. Tangan ini masih menggenggam ponsel setelah tadi menerima pesan dari nomor tidak dikenal. Dari gaya SMS-nya bukan seperti Nura, kurasa juga bukan ibunya, di pesan bahasanya memakai lo-gue. Biarlah, aku juga tidak berminat melacaknya. Aku hanya perlu bertanya dan meminta penjelasan dari Dina.
"Loh, Kak Panji pulang udah dari tadi?" Dia menghampiri dan mencium tanganku.
"Din, kamu tadi ke rumah Nura? Ngapain?" tanyaku lembut agar dia tidak merasa diinterogasi.
"Aku ... silaturahim sama Nura, Kak," kata Dina. Apa aku boleh menyatakan kalau dia berbohong? Sepertinya dia tidak cocok berkata dusta, ekspresinya begitu kentara, matanya beberapa kali melihat ke arah kanan.
"Oh ...." Aku mangut-mangut. "Nyampe minta Nura biar nerima aku?"
Dina tertegun lantas menunduk, dia tak berani menatapku. "Buat apa, Din?" Suaraku masih kuusahakan lembut. Jangan sampai kondisi badan yang lelah sampai memengaruhi emosionalku.
"Biar Kak Panji bisa bahagia." Suaranya begitu lirih, kontras dengan kosa katanya. Ingin agar aku bahagia katanya? Ya Allah, bukankah ini yang diharapkan? Tetapi kenapa aku tidak rela mendengar kata-kata itu terucap dari bibirnya?
"Kamu enggak yakin kalo aku bisa bahagia bareng kamu?" Dagunya kuangkat agar bisa melihat matanya. Salahkah bila aku terlalu cepat menyayanginya? Salahkah bila aku ingin menciptakan komitmen bersamanya? Sungguh, aku hanya ingin memperbaiki semuanya.
"Aku enggak bisa mastiin," kata Dina. Matanya sendu, seperti banyak beban yang ia simpan di dalamnya. Hei, haruskah aku meminta maaf lagi dan lagi supaya dia melupakan apa yang pernah terjadi dan menghilangkan sifat rendah dirinya yang selalu merasa tak pantas denganku. Mungkin awalnya aku pun berpikiran demikian, merasa tak pantas bersanding dengannya yang kelewat baik. Namun, aku kembali sadar, apa pun sifat yang melekat pada diri kami, kami telah dipersatukan dengan tali pernikahan di hadapan Allah.
"Kenapa? Apa kamu punya penyakit, itu sebabnya kamu ngijinin aku nikah sama Nura? Kaya drama di sinetron." Aku tertawa. Keseringan menemani Bunda menonton televisi membuatku tahu sebuah konflik tokoh dalam sinetron. Lucu juga kalau terjadi di dunia nyata, tapi aku tidak berminat membayangkannya atau merasakannya.
Sebentar, aku hanya bercanda, tetapi wajahnya kenapa sekaget itu. Kurasa ucapanku tidak sesarkas saat menyinggung Aji, Jessica ataupun Nura. Aku jadi takut kalau Dina tersinggung.
Pernikahan yang belum genap sebulan, tak adanya taaruf sebelum khitbah menjadikanku kesulitan memahami perempuan ayu itu. Belum lagi intensitas waktuku lebih banyak di kantor. Ditambah lagi kebodohan-kebodohan yang telah aku lakukan memberikan jarak antara kami. Menyesal? Tentu sebuah kebodohan bertingkat bila harus menyesali apa yang telah terjadi. Sebab solusi dari sebuah kejadian buruk adalah dengan memperbaikinya di kemudian waktu, bukan menyesalinya.
Sekarang apa yang harus kulakukan?
"Aku enggak bermaksud ...." Belum selesai aku membela diri, Dina sudah memotong.
"Enggak, kok." Dina tersenyum hambar. "Maaf, ya, Kak." Seharusnya aku yang meminta maaf atas ucapanku, kenapa jadi dia yang minta maaf? Membuatku tak enak hati saja.
Apa aku dari tadi hanya memerhatikan ekspresi Dina tanpa mengamati wajahnya yang ... pucat?
"Din, kamu sakit? Muka kamu pucat ...," kataku sambil menangkup kedua pipinya.
"Enggak, Kak." Dia menjauhkan tanganku dari wajahnya. "Kak Panji laper? Mau makan atau mau ...."
"Tidur. Badan aku pegal semua," kataku.
Dina mengangguk. "Mandi dulu, biar nyaman tidurnya," kata Dina sambil tersenyum menutupi wajah pucatnya.
Aku menuruti dan langsung masuk ke kamar mandi. Sebelum masuk, aku melihat Dina menunduk sambil memegang perutnya kemudian dia membaringkan diri di kasur dengan posisi miring sehingga tidak terlihat wajahnya. Aku harus tahu apa yang terjadi padanya.
~~~•~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...