Nura
Beberapa orang pasti merasakan bagaimana ditinggalkan seorang Ayah untuk selamanya. Senyum berhiaskan kerut halusnya selalu membayangi. Saat mengingat momen bersamanya, terasa ingin menangis. Aku jarang menangis di depan orang. Mas Hasbi kadang menanyakan kenapa hidungku memerah hebat. Lantas hanya kujawab bahwa aku menggaruknya karena gatal. Namun, tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan, bukan? Jadi, sekarang, hapus kesedihan, dan lukis kebahagiaan. Aku akan terus menjalani hari-hari yang diberikan Allah, dan tetap menyiram bunga matahari, di hati. Agar keceriaan terus terpancar darinya.
Harapan untuk berakhir pekan dengan berjalan-jalan bersama suami sepertinya sirna sudah. Sudah ada rencana, saat dia free job, kami akan ke Taman Ismail Marzuki untuk menonton teater. Namun, itu sudah tidak penting sekarang, yang terpenting bagaimana merawatnya.
Dari tadi malam Mas Hasbi demam tinggi. Aku saja mengurungkan niat untuk mendengus dan mencebikkan bibir atas gagalnya agenda itu melihat kondisinya. Pulang dari acara pernikahan kliennya, dia hanya diam. Itu saja demamnya baru kusadari saat tanpa sengaja menyentuh tangannya yang terasa panas. Disentuh dahinya, lebih panas.
Awalnya was-was. Dia pulang dan langsung tidur, tidak mandi ataupun mengganti pakaian. Bahkan kaus kakinya tidak dilepas. Geli juga melihatnya. Akhirnya, aku yang melepaskan. Jika dibiarkan, kakinya akan lembap semalaman memakai kaus kaki. Akibatnya akan berjamur bahkan berbau tidak sedap.
Untung dia tidak memakai kaus kaki berulang kali. Biasanya dia memakai kaus kaki yang berbeda setiap hari. Membuatku harus mencucinya setiap hari pula. Namun, itu lebih baik daripada seminggu sekali mencuci kaus kaki, tapi baunya nauzubillah.
Setelah dikompres semalaman dan minum obat, saat dicek sebelum subuh, suhu badanya sudah turun. Sekarang saatnya membangunkan Mas Hasbi karena azan Subuh sudah lewat sepuluh menit yang lalu, sedangkan Mas Hasbi masih tenang dalam tidur lelapnya dan belum salat. Kalau aku kebetulan sudah salat duluan tadi. Sebenarnya tidak tega menyuruhnya bangun, tapi lebih tidak tega lagi kalau dia masuk neraka karena dibiarkan melewatkan salat Subuh.
"Mas ...." Suaraku masih Pelan, agar dia tidak kaget.
Tidak mempan.
Harus pakai cara lain. Kucoba memencet-mencet hidung mancungnya. Dia hanya melengku. Sulit sekali membangunkannya. Apa aku harus bertadarus dan salah membaca huruf arabnya agar dia bangun? Huh, Konyol. Aku punya ide, tapi ragu.
Cup.
Sekilas aku mengecup pipinya.
"Jangan di situ. Harusnya di sini." Dia menunjuk bibirnya. Matanya masih terpejam. Dasar mesum, apa maksudnya. Sedang sakit saja dia menggodaku. Dasar. Mencium pipinya saja deg-degan parah, apalagi harus mencium bibirnya. Aku malu.
"Emangnya putri tidur. Ayo bangun, salat Subuh dulu, yuk," kataku.
"Kok putri tidur, sih, ganteng-ganteng gini. Yang bener itu pangeran tidur," protesnya sambil duduk.
"Terserah. Yang penting sekarang salat. Subuhnya udah lewat dari tadi," kelitku.
"Bantuin. Badan aku masih lemes.” Manjanya, ya, ampun. Aku mendesis. Apa laki-laki kalau sedang sakit semanja ini? Aku baru tahu.
Aku berusaha menuntunnya. Tubuhnya yang tinggi menyulitkanku untuk memapahnya. Namun, dia malah memeluk bahuku dan menyandarkan kepalanya ke kepalaku.
Allah ....
Berat sekali. Aku meliriknya dan dia sedang senyum-senyum tidak jelas. Aku yakin dia sedang mengerjaiku. Dasar pria manja.
Mas Hasbi sedang salat. Jadi, aku memutuskan untuk membuat bubur. Terdengar suara televisi menyala, itu pasti Eyang. Hobinya setiap pagi adalah menonton acara tausiah subuh. Kata Eyang, ustaznya asyik dalam membawakan tausiah. Membuat mata melek dan kadang mengundang tawa.
"Eyang." Yang dipanggil menengok. "Eyang mau bubur?" tawarku.
"Boleh. Tapi, kok, tumben Nura mau bikin bubur?" tanyanya balik.
"Buat Mas Hasbi. Mas Hasbi lagi kurang enak badan, Eyang. Dari tadi malem badannya panas," terangku.
"Ya Allah. Hasbi sakit?" Muncul gurat khawatir di wajah Eyang.
Aku mengangguk. "Tapi sekarang panasnya udah turun, kok, Eyang."
"Alhamdulillah. Syukur kalo gitu. Dia kayanya kecapean. Untung sekarang dia udah punya istri. Jadi, ada yang merawat. Udah cantik, pinter ngurus rumah, ngurus suami, Eyang juga enggak ketinggalan diurusin," kata Eyang sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum. Dipuji terus seperti itu, sih, bisa bikin bunga-bunga indah bermekaran.
"Eyang bisa aja. Ya udah, Nura tinggal ke dapur, ya." Aku kembali ke tujuanku memasak bubur.
Setelah bubur matang aku menghidangkan satu porsi untuk Eyang dan satu porsi untuk Mas Hasbi. Sebelum membawa bubur ke kamar, aku terlebih dahulu memberikan bubur untuk Eyang. Eyang juga harus sarapan pagi-pagi sekali, tidak baik sarapan terlalu siang.
Ternyata Mas Hasbi sudah bergemul dengan selimut. Untung hari ini dia libur. Jadi, tidak akan semakin dipusingkan dengan telepon-telepon dari rekan kerja atau dari kliennya.
Seperti sudah mencium bauku, saat aku membuka pintu, dia langsung membuka mata dan tersenyum.
"Buburnya udah dateng. Sarapan, yuk," kataku sambil menaruh baki bubur di atas nakas.
"Maunya kamu," katanya.
Alisku bertaut. Aku masih suka kaget dengan kata atau perlakuan romantis. Norak sekali, ya, aku.
"Ini masih jadi pangeran tidur," ujarnya lagi.
"Tidur masa ngomong," celetukku.
"Kan lagi mancing putri penolongnya."
"Bilang aja minta dicium." Aku langsung membekap mulutku. Apa yang aku katakan? Keceplosan.
Allah ... kumohon isolasi aku ke Antartika. Aku malu sekali. Dia tertawa. Seakan berhasil memainkanku. Tanpa kuduga. Tiba-tiba dia menarik tanganku sampai aku terhempas ke kasur. Hampir saja aku menubruk badannya jika tanganku tidak sigap menahan kasur. Napasku memburu.
Aku langsung menjauh dan tidur di sampingnya. Jantungku sedang olahraga aerobik. Energik sekali. Tidak berhenti sampai di situ. Dia langsung memelukku.
"Ini hari libur, aku pengin quality time sama kamu," ucapnya setengah berbisik.
Apa dia mau meminta haknya? Pagi-pagi begini? Kenapa aku sensitif sekali dengan kode seperti itu.
"Mau quality time gimana. Mas Hasbi, kan, belum mandi dari semalem. Bau tau." Aku menutup hidung, pura-pura bau badannya mengganggu indra penciuman.
"Biarin." Dia semakin mengeratkan pelukannya. Aku hampir sesak napas dipeluknya seperti ini.
~~~•~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
ДуховныеHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...