Nura
"Sudah," dokter wanita berkerudung maron itu membantu menutup baju tunikku yang tadi disingkap sampai batas dada. Sengaja aku memakai baju tunik dipadukan dengan rok agar mudah saat harus membuka bagian perut untuk di-USG.
Badan berperut buncit ini harus kumiringkan agar mudah bangkit dari posisi yang kini sedang berbaring. Kalau dipaksakan bangkit dalam kondisi terlentang, dijamin aku akan kepayahan. Seperti seekor kucing gemuk kekenyangan yang suka kesulitan membawa tubuhnya. Untuk berjongkok pun aku sering kesulitan, baru sebentar saja duduk tanpa menempelkan pantat ke tanah yang menjadi kebiasaan orang Asia tersebut, perutku sudah merasa begah. Jadi, aku selalu menghindari segala sesuatu yang ada hubungannya dengan jongkok.
Aku tidak segemuk yang mungkin kalian bayangkan. Dari postur tubuh bawaan, kenaikan berat badanku dan kedua kakakku saat hamil tak begitu naik signifikan. Terlihat dari luar tubuhku seperti tak ada perubahan, hanya di perut saja yang terlihat mengembang. Normalnya, kenaikan berat badan hingga trisemester ke tiga adalah sebelas kilogram. Di usia kandunganku yang masuk enam bulan berat badanku sudah naik delapan kilogram.
Jarum jam dinding di hadapanku sudah berputar tiga puluh menit lamanya sejak aku masuk ruangan beraroma khas rumah sakit ini, kini sudah pukul sepuluh tepat. Aku sudah selesai melakukan pemeriksaan USG dan sudah dijelaskan perkembangan tubuh dan kondisi bayi oleh dokter kandungan. Sudah dua puluh menit Ibu sebagai pendampingku keluar untuk menerima telepon dan hingga kini belum kembali. Itu artinya Ibu hanya menemaniku selama sepuluh menit awal.
Waktu memang berjalan begitu cepat. Baru saja kemarin perutku masih terlihat rata, sekarang sudah membuncit saja. Kehamilanku sudah memasuki trisemester kedua, dan sudah tiga bulan berlalu semenjak kedatangan Mbak Dina ke rumahku. Sejak saat itu hubunganku dengan keluarga mereka entah bisa dikatakan buruk atau baik. Tak ada perseteruan ataupun pertemuan damai. Semuanya hilang kontak bagaikan tak pernah ada yang terjadi di antara kami.
Wanita paruh baya berjas putih yang masih terlihat muda itu mencuci tangan di wastafel khusus yang letaknya di sudut ruangan dekat pintu. Setelahnya dia duduk di kursi kerjanya sambil menulis sesuatu di sebuah buku jurnal. Aku sendiri masih duduk di tepi brankar sambil membenahi hijabku yang sedikit berantakan akibat berbaring.
Lamat-lamat terdengar ketukan lalu disusul dorongan pintu. Akhirnya, Ibu kembali. Aku penasaran, sebenarnya siapa yang menelepon sampai Ibu melewatkan momen yang dia tunggu, yakni melihat bayiku lewat gambar USG.
"Gimana hasilnya, Dokter?" tanya Ibu sambil mengambil duduk di depan meja dokter.
"Untuk kondisi bayinya alhamdulillah baik, tapi untuk ibunya ... tidak boleh stres-stres. Harus bisa kelola emosional biar tidak terjadi serangan vertigo lagi," kata dokter berkacamata itu lalu tersenyum ramah.
Aku turun dari brankar dan ikut duduk di samping Ibu. Kata dokter, serangan vertigo yang kapan saja bisa terjadi secara mendadak ini memiliki banyak faktor penyebab. Salah satu penyebab adalah terjadi peradangan disebabkan virus atau bakteri di telinga bagian dalam yang berakibat terganggunya keseimbangan struktur bernama labirin yang mengirim sinyal keliru ke otak, seperti yang aku alami akhir-akhir ini.
Saat serangan itu terjadi, biasanya aku akan merasakan pusing, hilang keseimbangan, telinga berdenging, lelah, padahal tidak melakukan kegiatan berat, mual sampai muntah-muntah dan semuanya terasa berputar-putar. Vertigo itu menyerangku saat bangun tidur tiba-tiba akibat mimpi buruk. Entah, sekarang aku sering mengalami mimpi buruk. Mungkin itu terjadi karena pikiranku yang sering carut marut. Secara tidak langsung penyebabnya adalah tingkat stres yang aku alami terlalu tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...