Nura
"Mbak Dina?" Kalimat itu tercekat hanya sampai tenggorokan.
Senyum cantiknya semakin membuat lidahku kelu. Aku merutuki diri sendiri yang sulit sekali membaca ekspresi serta mimik wajah seseorang, yang terlintas di otak liarku hanya kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Kalau detik ini juga Allah memberikan satu permohonan dan berkenan mengabulkannya, aku berharap ini hanya false awakening. Tidur sebelum Ashar berlanjut sampai sekarang itu tak masalah asalkan nanti ketika bangun aku tidak mengalami amnesia singkat akibat gravitasi bumi yang kuat di waktu sore. Telepon dari Ibu tadi hanya mimpi buruk, berbicara dengan Mak Kulsum itu tak nyata dan jagung yang kumakan sampai terselip di gigi hanya angan. Aku hanya harus bangun dan salat Ashar kemudian menunggu Ratih pulang dan menagih janjinya. Katanya dia mau menunjukkan penampakan menakjubkan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Nura." Mbak Dina memanggilku. Ayolah bangun, aku ingin segera menyudahi mimpi di dalam mimpi ini. Bunga tidur yang biasa oleh sebagian orang harapkan untuk beristirahat sejenak dari dunia nyata, tak berlaku untukku. Tidak semua mimpi itu semanis madu, meski semu, keseringan bunga tidurku terlalu berduri, selaras dengan jalan hidupku.
"Astagfirullah hal'azim. Maaf, Mbak. Ayo masuk." Pada akhirnya aku harus mengakui bahwa ini semua adalah kenyataan. Kenyataan yang mungkin sekeras besi, tetapi pasti. Aku berusaha sekeras yang kubisa untuk menghilangkan raut keterkejutan atau setidaknya sedikit menyamarkan.
"Mbak Dina abis dari kampus terus nyempetin ke sini?" tanyaku sembari meletakkan secangkir teh, di atas meja kebetulan sudah ada sepiring kacang rebus yang tadi kubeli dari Mak Kulsum. Entah benar atau tidak pertanyaan sekaligus tebakan itu, untuk sekarang aku mencoba lebih mempertimbangkan segala sesuatu yang keluar dari mulut, dan pertanyaan itulah yang menurutku merupakan 'kemungkinan' yang paling masuk akal. Tak mungkin dia dari rumah dan sengaja datang ke sini. Kemungkinan lainnya ... bisa saja dia kebetulan lewat kompleks ini lalu memutuskan bersilaturahim ke rumahku.
"Tadi kebetulan abis ada urusan. Aku emang sengaja mau ke sini," kata Mbak Dina diselingi senyum. Tidak bisa membaca raut wajah sebenarnya ada untungnya juga. Aku jadi tidak mudah berprasangka, tetapi nilai minusnya, jadi kesulitan memosisikan diri dengan situasi. Semua itulah yang selalu melahirkan kebingungan-kebingungan dalam diri. Aku sering kebingungan dalam bersikap. Makanya, kadang merangkai kalimat di otak terlebih dahulu sebelum berhadapan dengan orang lain, yang memang sudah direncanakan untuk kuajak bicara. Kalau dadakan seperti sekarang? Aku akan memasrahkannya kepada Allah sebagai pemilik rencana terbaik.
Tak sengaja mataku menangkap sebuah amplop berlogo ... rumah sakit? Amplop itu menyembul dari tas selempang Mbak Dina yang terbuka. Namun, tak bisa kupastikan benar atau tidaknya karena tas itu langsung Mbak Dina resleting kemudian dipindahkan ke samping. Dia sedikit menggeser duduknya lebih dekat denganku. Kalau tebakanku benar, aku melihat gelagat salah tingkah darinya seperti habis tertangkap basah telah melakukan sesuatu hal.
"Diminum dulu tehnya, Mbak," kataku, mencairkan atmosfer beku. Dari tadi kami sama-sama diam, tak ada yang memulai kata, hanyut dalam pikiran masing-masing. Aku masih penasaran dengan amplopnya, wajah pucatnya, terutama kedatangannya ke sini.
"Ra, kamu mau, ya, nikah sama Kak Panji," kata Mbak Dina.
"Kenapa Mbak Dina bilang begitu?" tanyaku lirih. Emosionalku hilang seketika dan syaraf otakku seakan lemah fungsi. Aku akan bersyukur kalau detik ini juga mengalami hilang kesadaran agar apa yang kuhadapi saat ini tidak berlanjut.
"Aku ingin yang terbaik buat kalian ... juga buat aku." Ucapan Mbak Dina membuatku kehabisan pasokan oksigen di paru-paru. Aku sepertinya memerlukan oksigen lebih banyak dibanding hari-hari sebelumnya, mungkin juga Mbak Dina, dia terlihat sering mengatur napas.
"Ini bukan pilihan terbaik buat siapa pun, Mbak." Masih kucoba bersikap tenang. Aku menghela napas berat. Tanganku sudah gemetar menghadapi kondisi yang tidak pernah kuprediksikan sebelumnya. Aku tidak punya waktu untuk merangkai kalimat, kupasrahkan segalanya kepada Allah agar membimbingku menyelesaikan masalah ini dengan cara-Nya.
"Mbak Dina pikir ... kalau Nura nikah sama Panji, Panji bakal bahagia? Nura bakal bahagia? Ibu, Bunda, Mbak Dina ... apa bakal bahagia?" Aku menatap dalam netra matanya. "Enggak, Mbak. Nura malah akan memperburuk keadaan."
"Apa alasan Mbak nyuruh Nura nikah sama Panji?" cecarku sambil terus menyelami pupil matanya. Aku bukan sedang mencoba membaca isi pikiran lewat matanya, itu sangat mustahil kulakukan mengingat aku tidak berkemampuan dalam hal itu.
Mbak Dina terlihat gusar, matanya melihat ke kanan dan kiri dengan cepat. Aku memerlukan alasan yang paling masuk akal untuk sebuah keputusan besar semacam ini. Akan tetapi, dia sulit sekali mengatakan alasan itu. Omong kosong kalau alasan yang dia berikan hanya karena ingin melihat Panji, 'orang yang sangat dicintainya' bahagia, aku tidak akan menerima alasan cacat logika seperti itu.
"Aku ...." Suara Mbak Dina terhenti saat tiba-tiba pintu terbuka.
"Assalamualaikum, Nur ... a. Oh, ada tamu. Maaf ngagetin," kata Ratih. Wajahnya berubah dari girang menjadi canggung. Mungkin dia merasakan atmosfer ruangan yang tidak terkondisi, tegang dan kaku.
Mataku beralih kembali ke Mbak Dina, dia sedang melihat jam tangan kecil di pergelangan tangan kirinya, kegugupan masih tampak jelas di wajahnya. "Kayanya ini udah terlalu sore, Ra. Aku pulang dulu, ya." Tubuhku mematung saat dipeluk sekilas oleh Mbak Dina. Tak ada yang dia ucapkan setelah itu selain salam dan sekilas tersenyum kepada Ratih di ambang pintu.
"Apa yang udah kamu lakuin, Tih?" Emosionalku kembali setelah kedatangan Ratih dan perginya Mbak Dina. Aku harus mengadakan sidang interogasi dalam kasusku yang semakin rumit.
"Maksudnya?" Ratih menghempaskan tubuhnya ke sofa sambil meletakkan tas hitam berbentuk bulat panjang di meja.
Bibirku berdesis. "Kenapa kamu ngomong ke Bunda?" serangku. Aku ikut duduk di dekatnya.
"Oh ... ibunya Panji? Emang kenapa? Tadi istrinya ngelabrak lo?" kata Ratih. Kelebihan yang kusuka dari perempuan maniak hitam itu adalah sikap tenangnya di segala kondisi. Akan tetapi, aku tidak suka sikap tenangnya untuk saat ini. Kelebihannya itu malah membuatku geram. Bisa-bisanya dia menyepelekan perkara sepenting ini. Aku saja sampai mengalami henti jantung ketika mengingatnya, apalagi kejadian lima belas menit lalu, mungkin langsung stroke kalau Ratih tidak datang. Namun, aku jadi tidak mendapatkan alasan dari pernyataan konyol dari Mbak Dina.
"Nura enggak enak sama Bunda, Tih. Masalah ini bisa ngerusak keluarga Panji. Lagi pula ... Nura udah maafin dia, kok." Aku menyandarkan punggungku ke sofa sambil memencet-mencet hidung. Entah kenapa hidungku terasa gatal.
"Biarin, sih. Biar ibunya tau kelakuan anaknya. Biar mereka nyelesain masalah ini juga. Biar beban ini bukan cuma kamu yang ngerasain, Ra," pungkas Ratih. "Mungkin otak kamu udah maafin, tapi hati kamu belum."
Aku tertegun dengan ucapannya. Semunafik itukah diriku sampai Ratih saja menyadarinya? Mulut ini telah menghianati hati, bahkan akalku saja telah berkhianat.
~~~•~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...