PanjiAda yang bilang kebahagiaan berasal dari diri sendiri. Tak sedikit orang mengatakan bahwa kebahagiaan tercipta dari orang sekitar—yang terkasih atau disayangi. Ada pula yang beranggapan jika kebahagiaan dikarenakan kedekatannya dengan Tuhan. Kalau boleh berasumsi, aku akan mengatakan bahwa kebahagiaan bisa berasal dari mana pun selama orang tersebut bersyukur. Aku tidak akan memberikan alasannya, karena sesungguhnya semua orang juga tidak punya alasan untuk tidak bahagia. Ya, semua orang berhak bahagia, bagaimanapun caranya.
Lalu bagaimana jika ada yang bertanya, "Bukankah hidup itu seimbang?"
Siapa yang bilang hidup itu melulu dalam zona bahagia. Hidup itu layaknya neraca—seimbang. Seimbang antara objek dengan pemberat. Seimbang antara apel dengan mahoni, antara salak dengan lemon; antara cabai dengan mengkudu. Seimbang antara manis, pahit, sepat, asam, hambar, dan pedas. Semua manusia akan mengalami rasa-rasa dalam hidupnya.
Kadang muncul dalam pikiran seseorang, "Kenapa dia mengalami musibah tapi malah tertawa?"
Mengenai 'rasa-rasa dalam hidup', tergantung cara tangkap setiap individual dalam menyikapi. Ada yang hanyut dalam kesedihan, tersulut dalam emosional, membumbung dalam kebahagiaan. Kuncinya satu, ra-sa syu-kur dalam setiap kondisi hidupnya. Ketika rasa syukur ada pada diri seseorang, seberat apa pun masalah akan terasa ringan. Karena orang tersebut percaya bahwa Allah tidak akan menimpakan cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Serta merasa bahwa Allah dekat, lebih dekat dari urat nadinya sendiri. Gitu.
Setidaknya pelajaran itulah yang kutangkap dari ceramah di masjid universitas Jumat lalu.
Bagi seorang Panji, sangat bersyukur bisa melihatnya hari ini. Sederhana itu kebahagiaanku.
"Panji!"
Aku mendongakkan kepala.
"Dipanggil enggak nyaut-nyaut. Ngeliatin siapa, sih?" Gadis berambut sebahu dengan pakaian panjang gombroh mengarahkan kepalanya ke kerumunan perempuan berjilbab tak jauh dari tempatku duduk. Mungkin dia tadi menyadari arah pandangku. "Cie ... pasti ada salah satu yang Panji suka, ya?"
Aku mendesis, "Sok tau."
Dia meledekku dengan mencebikkan bibir ranumnya. "Udah ngaku aja."
"Enggak," kelitku.
"Kayanya di sana ada yang cocok, lho, sama Panji. Orangnya pinter diskusi," katanya sambil duduk di sampingku.
"Ngaco, udah istirahatnya, kan? Ayo latihan lagi." Aku berdiri dan kembali ke lapangan menghampiri teman-teman pemanah yang lain. Merasa dicuekin, dia pun mengikutiku.
“Masih pengin istirahat!” Meski protes, dia tetap bangkit mengikutiku.
Hipotesisnya membuatku kesal, berani-beraninya dia melakukan cocoklogi antara aku dengan perempuan berjilbab di sana. Apakah dia tidak tahu, kalau aku cocok hanya dengannya. Nura, gadis yang belum ber-penutup kepala.
Nura bukanlah gadis tanpa didikan agama. Ayah dan ibunya sudah berperan sebagai pendidik yang secara maksimal mengajari dan mengayominya dalam perkara akhirat. Nura pun bukan anak pembangkang yang sulit diatur, dia tergolong gadis penurut.
Untuk ajaran dan teori agama, dia sudah mengerti. Namun, sama halnya dengan olahraga panahan, menguasai teori belum tentu mahir dalam aksinya. Dia hanya belum bisa mempraktikkan teori mengenai aurat. Otaknya terlalu lamban untuk melakukan perubahan. Ketidakpercayaan diri menjadi salah satu penyebab penghalang langkahnya. Bahkan sindiranku mengenai hidayah juga tak begitu berpengaruh.
Aku memasang quiver, yaitu wadah arrow, mengikatkan talinya ke pinggang. Melakukan teknik mediterranean alias teknik menarik bow string dengan tiga jari. Bidikan sudah kuperkirakan dengan matang. Dalam sepersekian detik, anak panah sudah meluncur dari busur ke arah sasaran.
"Ra, release-nya yang rileks, jangan kaku." Arrow hasil bidikanku menancap di lingkaran kuning, sedang Nura ... menancap di garis lingkaran pun tidak. Anak panahnya hanya mampu mengenai pinggiran target berwarna putih.
Dia meringis jengah.
"Sini, sini." Aku sedikit mendekat untuk mengajarinya. Sebenarnya bosan juga mengajari dia, sudah berkali-kali latihan, tapi praktiknya nihil. Namun, ya ... mau gimana lagi. Anaknya maksa pengin bisa.
"Stance-nya yang tegak." Aku mulai mengarahkan, posisiku satu meter darinya, agar tidak terlalu dekat. Mulutku saja yang mengarahkan, tangan dan badan tidak ikut-ikutan. Dia pun mengikuti arahanku dengan menegakkan sikap berdirinya di atas garis bidik. Memutar badan 90 derajat ke arah target dan mulai menggenggam riser.
"Sekarang hooking and grippring the bow. Jangan lupa pastikan anak panah udah nempel di arrow rest sama nocking point-nya udah kepasang."
Hooking and grippring the bow itu teknik mengaitkan tiga jari, jari telunjuk, tengah dan jari manis yang sudah dipasang pengaman atau finger tab pada tali busur untuk menjepit arrow nock, yaitu pangkal anak panah. Nura memastikan arrow nock sudah terkait dengan benar lalu melakukan teknik tersebut.
"Nah, giliran drawing. Tangan yang di handle rileks aja, jangan kaku. Entar belum apa-apa udah pegel. Abis itu holding" Nura menarik tali busur dan menempelkannya ke hidung, pipi dan dagu. Lalu menahan tali dalam posisi yang sama seraya pandangannya fokus ke arah target sasaran untuk memperkirakan ketepatan bidikan.
"Pas bagian aiming, fokus kamu harus ke target, arahin busur tepat ke titik sasaran. Terus dilanjut ke tahap release. Ingat, jarinya jangan kaku itu berpengaruh besar pas tali dilepas." Nura memfokuskan diri menatap target melewati arrow rest, dia sudah bersiap melepaskan tali busur serta nock. Dalam waktu tiga detik, ia melepaskan jari yang tadi mengait tali. Anak panah melesat dengan cepat ke arah target yang berjarak 30 meter dari shooting line. Gadis putih itu terlonjak girang saat anak panah menancap di target berdiameter 80 sentimeter tepat di bagian berwarna hitam. Itu artinya, satu garis lebih tengah dari warna putih. Bagi Nura, keberhasilannya tersebut merupakan kemajuan yang membanggakan. Ya, aku turut bangga dengan hasil didikanku. Sombong dikit bolehlah.
"Nura berhasil!" serunya.
Senyumku mengembang. Bahagia itu mudah, 'kan? Melihat orang lain bahagia dengan kesuksesannya pun bisa mengeluarkan hormon kebahagiaan. Apalagi orang itu spesial di hati.
"Enggak usah senyam-senyum gitu juga, Nji. Nura enggak bakal terpikat."
Senyumku luntur terempas angin.
Dasar! Perusak suasana hati.
~~~•~~~
Jadikan Al Qur'an sebagai bacaan utama
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
DuchoweHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...