PanjiAku berjalan santai ke arah kerumunan orang yang sedang memanah. Di sana Nura sedang mengarahkan busurnya ke target sasaran. Namun, seperti biasa, dia gagal menancapkan anak panah ke tengah target. Tapi lumayan lah, daripada dulu waktu awal-awal latihan memanah, anak panahnya melenceng dari target dan menancap di pohon.
"Assalamualaikum." Hampir semua menoleh ke arahku. Dalam sekejap aku jadi pusat perhatian.
Mereka serentak menjawab salam. Aku pun menghampiri Nura.
"Baru dateng bukannye nyalamin kite-kite, eh ... Nura yang pertama disamperin," celetuk Jay. Anak Betawi asli yang selalu bangga dengan logat khas betawinya.
Aku nyengir dan menangkupkan kedua tangan seperti orang yang sedang memohon ampun. "Sori, sori." Aku pun menyalami ikhwan-ikhwan sohib memanahku itu. Tapi tetap, tujuan utama adalah menghampiri Nura.
"Dasar Norak. Gagal mulu, enggak pernah bener manahnya," ejekku.
Belum jera juga, dia kembali menancapkan anak panahnya ke target dan gagal lagi. Aku tidak mampu menahan tawa. Kadang ngeselin, kadang juga bisa jadi hiburan pas pikiran sedang tidak karuan. Nura, Nura.
Nura menghela napas pasrah. Anak panah di target ia cabut lalu melirikku sebentar. Kemudian beralih melirik jam mungil di pergelangan tangannya.
"Telat dua puluh menit. Panji dihukum," ucapnya sambil mengarahkan panahnya ke arah dadaku.
"Mana ada hukum-hukuman." Aku menggeser panahnya agar mengarah ke arah lain. "Sok-sokan mau manah aku, enggak bakal mempan. Paling enggak kena jantung, tapi kenanya ketek."
Nura tertawa. "Kalo kenanya ketek Panji, anak panahnya enggak bakal Nura pake lagi. Udah terkontaminasi sama ketek Panji yang bau."
"Wangi, kok. Wangi lavender," kataku sambil mencium ketiak sendiri.
"Wangi lavender. Itu ketek apa obat nyamuk." Dia selalu memiliki pesona di setiap tawanya.
Astagfirullah, tundukkan pandangan, Panji. Ujian berat memang kalau belum dihalalin. Aku duduk di rumput menikmati semilir angin sore untuk menyegarkan pikiran.
"Panji enggak memanah?" tanya gadis berjilbab hitam itu. Warnanya kontras sekali dengan kulitnya yang putih.
Aku menggeleng. Untuk hari lagi malas memanah, cuma ingin menikmati sore di sini, dengan ditemani dia. Astagfirullah, apa lagi yang otak ini pikirkan? Ini, sih, parah.
Nura ikut duduk. Tidak tepat di sampingku. Berjarak sekitar satu meter. Kami juga tidak berduaan karena di sini ramai para pemanah.
"Nura seneng banget kalo di sini. Bisa kumpul sama orang-orang baik," kata Nura. Dia memeluk lututnya sendiri.
Merasa nyaman setelah menikmati udara sejuk, aku menoleh mendengar pembukaan kalimat dari Nura.
"Kumpul gimana? Kamu aja jarang ngobrol sama mereka. Ke sini kalo aku ada di sini." Nura memang perempuan pendiam. Untung dia ramah dan murah senyum. Jika tidak, dia akan terlihat seperti zombi—kaku tanpa ekspresi.
"Bukan jarang ngobrol. Kan kamu tahu sendiri, Nura enggak pinter interaksi sama orang." Bukan tidak pintar berinteraksi, tapi dia sulit untuk mencari topik pembicaraan. Karena sudah kenal lama denganku saja, makanya dia bisa seterbuka ini.
"Iya kamu pinternya interaksi sama makhluk gaib. Penunggu bunga matahari di halaman rumah kamu."
"Ih! nyeremin. Ya enggak lah."
"Ra ...." Kenapa nada bicaraku berubah. Rada lembek-lembek gitu. Aku berdehem untuk menormalkan suara ... sekaligus hati.
"Hm."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritüelHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...