Nura
"Ra ...."
Mataku mengerjap.
"Bangun dulu. Udah waktunya salat Zuhur."
Ini masih di kereta. Sudah berapa lama aku tidur? Rasanya masih mengantuk. Aku menengok keluar jendela. Langit terlihat mendung, padahal sepertinya tadi langitnya masih cerah. Mataku beralih ke Mas Hasbi yang berdiri tegak setelah tadi membangunkanku dengan sedikit berbisik. Dia lakukan itu pasti karena tidak mau mengganggu penumpang lain. Wajahnya terlihat basah, sepertinya dia sudah mengambil wudu.
Aku berdiri lalu langsung duduk lagi.
"Ngumpulin nyawa dulu," kataku. Aku belum sadar sepenuhnya. Masih terasa berada di alam mimpi.
"Ya udah kamu geser ke sini. Biar aku salat di situ," saran pria tinggi itu.
Maksudnya agar nanti ketika dia salat aku tidak melewatinya saat aku hendak ke toilet. Namun, aku memilih langsung ke toilet saja, daripada nanti kehilangan banyak waktu untuk salat di waktu utama. Mas Hasbi menggeser tubuhnya untuk memberikan jarak agar kami tidak bersentuhan. Kuat juga imannya untuk mempertahankan wudu. Biasanya kalau di rumah dia sering menjahiliku dengan mencubit pipiku, padahal aku sudah wudu dan bersiap untuk salat.
Kembalinya aku dari toilet, Mas Hasbi sudah menyelesaikan salat. Dia sedang berzikir dengan tasbihnya. Tasbih yang sama dengan mahar yang dia berikan kepadaku. Mahar sederhana tanpa embel-embel yang lain. Kalau kalian bertanya kenapa maharku hanya berupa tasbih putih. Jawabanku adalah, aku ingin mahar yang sederhana, tapi dengan bukti cinta yang luar biasa.
Lagi pula, walaupun hanya meminta mahar tasbih putih saja, tapi jangan ditanya hantaran yang diberikan dari keluarga Mas Hasbi. Berbagai jenis barang-barang wanita. Yang kadang tidak terbiasa memakainya. Alat make up lengkap, aku hanya biasa dandan menggunakan liptin. Pakaian muslimah lengkap dengan sepatu hak tinggi, aku tidak bisa memakai sepatu berhak tinggi. Memang kesannya bukan seperti wanita feminin, tapi aku juga bukan wanita tomboi. Hanya tidak suka barang-barang mewah.
Aku mengambil sikap duduk yang sempurna. Harus tetap khusyuk walaupun harus salat dalam posisi duduk dengan gerakan tidak sempurna seperti biasa. Apalagi banyak suara, dan berpotensi memecahkan konsentrasi.
Salat di dalam kendaraan dengan posisi duduk merupakan rukhsah karena tidak memungkinkan salat sambil berdiri ataupun turun dari kendaraan karena perjalanan masih lama, ditakutkan sampai tempat tujuan waktu salat sudah usai. Aku bersyukur karena sudah memakai pakaian tertutup dan kerudung panjang dan terus berusaha menjaga kebersihan pakaian agar terhindar dari hadas atau najis.
Aku mengusap wajahku setelah salat selesai. Aku juga menyodorkan tanganku ke arah Mas Hasbi untuk mencium tangannya. Itu kebiasaanku sehabis salat.
~~~•~~~
"Nanti dijemput atau naik taksi, Mas?" tanyaku. Aku harus memulai percakapan agar tidak mengantuk lagi.
"Dijemput." Dia masih memegang tasbihnya
"Dijemput siapa?" Aku mulai antusias.
"Enggak tau. Kemungkinan Mas Banyu. Dia tadi bilang ada di rumah," katanya. Mas Banyu itu kakak sepupu Mas Hasbi. Dia sudah punya anak bernama Gendis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cara Mencintaimu ✓
SpiritualHanya dengan mencintai Tuhanku. Aku ikhlas menerimamu, ikhlas mencintaimu, dan ikhlas kehilanganmu. Namun bukankah ikhlas itu amatlah sulit untuk diraih? Sesulit menangkap buih di dalam lautan. Begitupun dengan keikhlasan cinta. Karena satu-satunya...