30. ✓

35 6 0
                                    

Bingung mau kasih judul apa. Gak usah kasih judul lah, ya. 😁


Nura

Seharian kuhabiskan untuk bermain dan belajar bersama anak-anak manis di panti asuhan. Mereka senang sekali mendapat cokelat dariku. Sebagian besar mereka masih malu-malu. Begitu pun saat menyerahkan hasil gambaran mereka. Kalau Mas Hasbi dijuluki oleh Nusa dengan  "malaikat penolong", aku dipanggil salah satu anak laki-laki yang bernama Beni yang masih berusia empat tahun dengan sebutan "bidadari baik".

Lihat Mas Hasbi, Nura juga punya julukan. Aku terkekeh.

Hari sudah malam. Aku masih menunggu Mas Hasbi menjemput. Dia tadi bilang pulang dari kantor langsung ke sini, tapi sampai Isya suamiku itu belum juga muncul. Eyang sudah pulang duluan tadi sore. Sebenarnya, aku mau pulang bersama Eyang, tapi karena tadi sedang mengajari anak-anak belajar. Jadi, aku memutuskan pulang belakangan. Kemudian Mas Hasbi menawari untuk menunggunya menjemput.

Tahu lama begini. Mending naik metromini. Ralat. Naik taksi. Aku takut kesasar lagi. Bisa-bisa sampai rumah lebih malam dibandingkan menunggu jemputan.

Anak-anak sudah banyak yang tidur. Tadi sebelum tidur, mereka minta di ceritakan dongeng. Dongeng seperti yang diceritakan ke Nusa, katanya. Tadi memang Nusa bilang ke anak-anak yang lain kalau dia mendapatkan cerita seru dariku. Akhirnya, mereka penasaran dan memintaku menceritakan kembali kepada mereka. Namun, kisah yang kuceritakan bukan tentang Nusaibah binti Ka'ab, tapi kisah sahabat Rasul yang lain.

Aku mendekap tubuh dengan tangan sendiri. Hujan tadi sore masih menyisakan udara dingin. Sekarang di sore hari sering turun hujan. Halaman depan juga masih terlihat lembap dan banyak genangan air yang belum meresap ke dalam tanah. Aku selalu suka saat hujan turun dengan bau khas tanah kering bercampur air hujan. Namun, kadang tidak kuat dengan rasa dingin udaranya—bikin menggigil.

"Assalamualaikum. Maaf, ya, Ra, aku baru dateng. Lama nunggu, ya?" Lelaki itu muncul juga akhirnya.

"Enggak lama, kok, Mas. Cuma tiga jam," kataku menekankan jam yang kusebut.

Dia terkekeh.

Malah ketawa.

Dari dalam kamar muncul Beni. "Kakak bidadali baik. Aku enggak bisa tidul," katanya sambil meremas gamisku.

Aku berjongkok untuk menyamai tingginya. "Beni mau dibacain dongeng lagi?"

Dia mengangguk.

Aku menoleh ke Mas Hasbi. Dia mengedikkan bahu seakan tahu kalau aku meminta izinnya. Tapi Mas Hasbi malah berjongkok. "Tidur bareng Om, yuk. Entar Om bacain dongeng seru buat Beni."

Anak itu menggeleng. Menolak tawaran Mas Hasbi. "Maunya sama Kakak bidadali baik aja."

Aku menahan tawa.

"Ya udah ayo sama Kakak." Kugendong anak menggemaskan itu.

Setelah menceritakannya dongeng dan membacakan sholawat, Beni akhirnya bisa tidur. Mas Hasbi hanya berdiri memandangi kami berdua. Kami putuskan segera pulang karena sudah hampir larut malam. Kemudian yang pasti, aku sudah mengantuk. Di dalam mobil hampir saja tertidur sampai Mas Hasbi mengeluarkan suaranya.

"Kamu itu jangan suka bikin aku cemburu, Ra," katanya.

Alisku bertautan. Membuatnya cemburu? Memang aku pernah bermain dengan lelaki. Palingan juga Panji. Itu juga sekarang sudah jarang, Panji sekarang sibuk kerja. Lalu siapa yang dia cemburui, padahal teman laki-laki saja tidak punya.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang